Melalui surat – suratnya kepada para
sahabatnya di Eropa yang dikumpulkan dalam buku Door Duisternis tot Licht oleh
J. H. Abendanon, pikiran dan pandangan Kartini dituturkan demi untuk memajukan
nasib perempuan Jawa agar memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar (Imron,
2012:109).
Spirit perjuangan Kartini untuk kebangkitan pendidikan kaum
perempuan dapat dijiwai hingga saat ini. Bahkan dapat pula kiranya dilihat dari
berbagai sudut pandang. Termasuk melihatnya dari perspektif Islam.
Pendidikan Dalam Pespektif Islam
Bagi Islam menuntut ilmu bukan hanya hak
melainkan juga kewajiban. “Menuntut ilmu
itu hukumnya wajib bagi muslimin dan muslimat”(HR. Ibnu Abdil Bari)
Allah swt memuji orang –
orang berilmu, sehingga hal tersebut juga dapat menjadi motivasi bagi kaum
muslim untuk melengkapi proses perjalanan hidupnya dengan ilmu. Allah swt
berfirman: “niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat.” (Qs.
Al-Mujadilah: 11)
“Katakanlah: Apakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (Qs.
Az-Zumar: 9).
Baiknya
Islam, dorongan menuntut ilmu bukan hanya ditujukan bagi kaum lelaki namun juga
bagi kaum perempuan. Hal ini telah dipahami sejak wahyu tersebut turun sekitar
seribu tiga ratus tahun lalu. Sehingga di masa kejayaan Islam para muslimah
tidak merasakan diskriminasi sebagaimana yang dirasakan kaum perempuan di zaman
Kartini.
Aisyah, Fatimah Az Zahra, Fatimah binti Khattab dan para muslimah lainnya adalah kaum
terdidik, hasil didikan baginda Rasulullah saw. Seperti Ibnu Abdil Barr yang berkata:
“Aisyah adalah orang nomor satu pada zamannya dalam 3 ilmu : agama, kedokteran
dan syair”.
Ketika
kegemilangan Islam sedang berlangsung, justru dibelahan bumi lainnya terjadi
diskriminasi terhadap perempuan. Sehingga bertahun – tahun kemudian lahirlah
gerakan feminisme yang diinisiasi suatu gerakan perempuan di barat. Tulisan Mary
Wollstonecraft yang berjudul A Vindication of The Rights of Woman dianggap
sebagai salah satu karya tulis feminis awal yang berisi kritik terhadap
Revolusi Prancis yang hanya berlaku untuk laki-laki namun tidak untuk
perempuan (https://id.wikipedia.org). Di Indonesia,
Kartini dianggap menjadi ikon perjuangan emansipasi perempuan, yang menuntut
persamaan kedudukan dengan kaum lelaki.
Pasca
redupnya cahaya Islam yang ditandai dengan runtuhnya Khilafah Turki Utsmaniyah,
cerita – cerita mengenai diskriminasi pada perempuan terus bermunculan. Bahkan
kisah semisal menyentuh negeri – negeri muslim dan mempengaruhi para muslimah.
Barat menuduh Islam sebagai ajaran yang mendukung diskriminasi perempuan.
Aturan mengenai pembagian warisan dan poligami misalnya, dijadikan sebagai
senjata menyudutkan Islam.
Sekulerisasi
dan Komersialisasi Pendidikan
Kembali kepada spirit perjuangan Kartini
untuk kebangkitan pendidikan kaum perempuan dan perspektifnya dalam Islam. Di
zaman yang serba digital sekarang ini, para perempuan masih banyak yang
tertinggal dalam aspek pendidikan. Baik ketertinggalan dalam ilmu pengetahuan
umum maupun ilmu agama. Badan Pusat
Statistik (BPS) serta Pusat Data dan Statistik Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) pada 2017 merilis data bahwa terdapat 2,2 juta
penduduk tidak mengenal tulis baca. Diantaranya merupakan perempuan dan
mayoritas ibu rumah tangga (https://www.jawapos.com).
Hasil riset dari
Institut Ilmu Alquran (IIQ) akhir pekan lalu mencatat sekitar 65 persen
masyarakat Indonesia buta huruf Alquran. Tentu di dalamnya juga terdapat
muslimah. Selain itu, minimnya kaum perempuan yang memahami Islam dapat
dibuktikan dari keseharian mereka yang jauh dari prilaku Islami.
Mereka tidak
menutup aurat dengan benar sesuai Islam. Mereka berproses menjemput jodoh
dengan pacaran yang diharamkan dalam Islam. Lebih suka karaokean daripada
menghadiri majelis ilmu dan prilaku non islami lainnya.
Di masa berjayanya
sistem kapitalis saat ini, masalah minimnya pendidikan kaum perempuan bukan semata
disebabkan budaya patriarki sebagaimana perempuan Jawa era Kartini. Namun
sekulerisasi serta komersialisasi pendidikan memiliki pengaruh yang lebih
mendalam. Sistem pendidikan berbasis sekuler membentuk para kaum terdidik yang
tidak memahami Islam sebagai aturan hidup. Karenanya output pendidikan
merasa enjoy dengan gaya hidup kebarat – baratan.
Sementara pengaruh
komersialisasi pendidikan, dapat dilihat salah satunya dari hasil penelitian Hasil Bantuan Siswa
Miskin Endline di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat,
Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan oleh Pusat Studi Kependudukan dan
Kebijakan Universitas Gadjah Mada. Responden terbanyak yaitu 47,3 persen
menjawab tidak bersekolah lagi karena masalah biaya (https://student.cnnindonesia.com).
Menjadi
Kartini Masa Kini
Masalah sekulerisasi dan komersialisasi
pendidikan adalah masalah sistemik. Artinya jika para perempuan berjiwa Kartini
ingin membangkitkan kaumnya, maka perjuangannya juga harus skala sistemik. Artinya,
mereka harus menyadarkan kaumnya bahwa keterbelakangan perempuan adalah karena
diterapkannya sistem kapitalis berbasis sekuler. Sistem tersebut telah mengabaikan
peran agama dalam kehidupan, termasuk dalam hal mengatur sistem pendidikan.
Alhasil
lahirnya sistem ekonomi kapitalis memaksa sektor pendidikan masuk ke ranah
bisnis. Pendidikan berkualitas pun hanya untuk yang berduit saja. Keluarga
miskin menjadi sulit memberi pendidikan terbaik bagi anak – anak mereka.
Meneladani spirit perjuangan Kartini
berarti layak pula melirik Islam sebagai solusi kebangkitan. Sejak berkenalan
dengan Kyai Sholeh Darat, Kartini sangat tertarik dengan Islam. Kartini sempat
mendengar ceramah Kyai Sholeh Darat
mengenai tafsir surat al Fatihah. Kartini juga diberi hadiah pernikahan oleh
Kyai Sholeh Darat berupa 13 juz terjemahan al Qur’an berbahasa jawa.
Andai
sampai kepadanya mengenai kesempurnaan Islam sebagai aturan hidup, Kartini
pasti mengajak kaum perempuan untuk mempelajari Islam secara kaffah agar
kebangkitan hakiki dapat diraih. Wallahu a’lam bishawab.
Note: Tulisan ini dimuat pula di Harian Waspada Medan 22 April 2019
Masya Allah, iyah baru tau kalau kartini begitu dekat dengan nilai-nilai keislaman semasa hidupnya :o
ReplyDeleteiya mbak benar sekali.
Delete