Monday, February 04, 2019

Mengenal Tokoh Seni





Belajar itu kewajiban. Belajar itu kebutuhan. Salah satu sumber belajar adalah buku. Hal itu kusadari. Meski tak semua isi buku mampu terserap dalam benak, setidaknya satu dua pelajaran diperoleh juga. Baca buku saja tak kunjung diri menjadi padat berilmu, apalagi tak baca buku. Intinya, buku jadi penting sebagai bagian dari keseharian kita.

Kali ini diberi rezeki oleh Allah swt memiliki buku berjudul “Questioning Everything; Kreativitas Di Dunia Yang Tidak Baik – Baik Saja”, karya duo pemuda Tomi Wibisono dan Soni Triantoro. Buku ini berisi kumpulan hasil wawancara penulis dengan para tokoh seni. Konon para tokoh seni ini isi kepalanya tak melulu soal seni. Mereka juga bicara soal politik dan sosial.


Nah menariknya disitu. Sebab hal ini makin menambah yakin diri ini bahwa siapapun orangnya, apapun profesinya dia tak bisa lari dari politik. Mengingat politik sudah menjadi bagian dari urusan kehidupan kita. Dalam beberapa hari ke depan, buku ini akan turut menemani hari – hariku.

Tokoh pertama yang diulas adalah tentang Remy Sylado. Jujur, baru kali ini mendengar nama itu. Beliau seorang multi talenta di bidang seni. Beliau sastrawan, jurnalis, pemain teater, pemain film, sutradara, musikus, pakar bahasa dan pelukis.

Tahun 60-an, beliau pernah ikut menjadi korban kejahatan PKI. Ada rencana beliau untuk menuliskan hal tersebut dalam bentuk novel. Saat muncul wacana agar pemerintah minta maaf pada PKI, beliau menjadi salah satu nara sumber yang berbicara tentang pengalaman menjadi koran kejahatan PKI. 

Ternyata beliau juga orangnya yang memulai musikalisasi puisi di negeri ini. Dimana musikalisasi puisi adalah salah satu pertunjukan yang amat kusukai dalam tiap agenda dakwah publik. Saat ini beliau sudah sepuh, berusia sekitar tujuh puluhan.

Ada dua yang yang tidak kusepakati darinya. Pertama, ia beranggapan mau tak mau kita harus berkiblat ke amerika. Terutama dalam hal musik. Karena arusnya sudah begitu. Kedua, pandangannya bahwa seni itu kreasi bebas. Sehingga tema seks ikut dibahas dalam puisinya.

Dua hal pula yang aku sepakati darinya. Pertama, sebagai makhluk Ilahi kita punya kelebihan dari lainnya. Maka jika ada yang mengatakan bahwa kita harus punya spesialisasi dan diferensiasi dalam bidang tertentu, itu keliru. Kita bisa menguasasi berbagai keterampilan. Apa yang kita mau ya lakukan. Tokoh ini sendiri sudah membuktikan bahwa dirinya mampu menjadi seorang dengan multi talenta.

Meski yang ia maksud adalah dalam bidang budaya. Kupikir hal ini juga berlaku dalam bidang lainnya. Dan ini mengingatkanku pada banyaknya generasi Khilafah Islam tempo dulu yang menguasai banyak bidang keilmuan. Salah satu contohnya ilmuwan al Khawarizmi yang menguasai ilmu bidang matematika, astronomi, astrologi, dan geografi serta tentunya memiliki ilmu keislaman yang cukup. Mereka generasi yang kurindu kehadirannya zaman ini.

Hal lainnya yang aku sepakati darinya, bahwa kita tak perlu takut memegang ide yang kita yakini. Meski itu berbeda dari kebanyakan orang. “Kita dari sekarang kalau sudah punya kesadaran untuk melakukan sesuatu yang tidak pada umumnya, ya lakukan saja”. (Hal. 17).


Beliau saja yang berpegang pada ide barat percaya diri, apalagi yang diyakini itu adalah pemahaman Islami. Bersumber dari Allah swt sang pencipta alam semesta. Seperti kewajiban menerapkan syariah Islam dalam naungan Khilafah. Dalilnya jelas. Keberkahan itu bagi negeri yang taat (QS. al A’raf: 96). Kebaikan itu letaknya pada penerapan syariah Islam secara kaffah (QS. al Anbiya: 7). Sudah selayaknya berpegang teguh pada syariah Islam meski belum semua orang berpikir yang sama.

0 Comments

Post a Comment