Thursday, November 08, 2018

Tetesan Ilmu

Foto hanya ilustrasi, by Mina News


Zaman ini zamannya hijrah. Para artis banyak yang hijrah. Penggiat media sosial makin banyak yang obrolannya cenderung pada agama. Bermunculan para penggiat dakwah yang mengajak umat kembali pada Islam.

Alhamdulillah, satu demi satu muslim di sekitarku pun memilih untuk lebih dekat pada agama. Tak terkecuali temanku yang satu ini, Hanifa.

Aku searching di google tentang nama Hanifa. Arti nama itu bagus sekali. Hanifa, yang taat kepada agama Islam. Insya allah temanku yang satu ini berada dalam ketaatan. Dia punya kisah hijrah tersendiri.

Sejak masuk kampus Hanifa sudah bersentuhan dengan aktivitas pengajian anak-anak kampus. Biasanya para aktivis dakwah kampus memang tak melewatkan momen awal tahun ajaran. Mereka bakal membuat acara penyambutan untuk mahasiswa baru. Selanjutnya mengajak para mahasiswa baru itu untuk mengkaji Islam rutin bersama mereka. Hanifa jadi salah satu yang diajak dan tertarik ikut pengajian.

Kajian Islam biasanya diadakan setiap minggu di hari Jum’at.  Hampir tiap minggu Hanifa rutin menghadirinya. Beragam ilmu Islam didapatkannya. Mengenai makna keimanan. Tujuan hidup. Konsekuensi iman. Makna cinta kepada Allah swt dan Rasul. Berhijab syar’i. Pergaulan dalam Islam. Dan sebagainya.

Bulan demi bulan berlalu, Hanifa terus rajin mengikuti kajian. Uniknya, belum ada perubahan berarti pada dirinya. Pakaian masih serba ketat. Kerudung tak menutupi dada. Berteman dengan para pria. Bahkan pacaran.

Dari kajian yang bersifat umum, teman-teman pengajian Hanifa mengajaknya mengikuti kajian khusus. Bedanya dengan kajian umum, jumlah jamaah dibatasi maksimal lima orang. Kajiannya lebih mendalam. Prakteknya dipantau. Proses jatuh bangun dalam berhijrah dibersamai. Agar perubahan diri objek dakwah lebih nyata terjadi.

Namun Hanifa enggan menyambut ajakan kajian Islam khusus. Ajakan tersebut diartikannya sebagai pintu pengekangan. Dibayangkannya dia bakal menjadi bagian dari jamaah dengan segudang aturan. Dia khawatir ketatnya aturan tak disukainya, hingga ia merasa tersiksa.

Padahal sesungguhnya, menjadi bagian dari jamaah berarti dia bisa lebih dekat dengan teman hijrah. Bukankah konsisten salah satunya terjadi saat sering berada dalam suasana amar ma’ruf? Dalam bersama jama'ahlah kita akan mendapatkan suasana ruhiyah itu.

Menolak mengkaji lebih intensif bukan berarti Hanifah menjauh. Dia benar – benar unik. Karena bersedia terus hadir di Majelis Ta’lim di hari Jum’at. Meski tanpa perubahan. Dia senang mendengar kajian. Tapi belum siap untuk berubah.

Yang namanya batu, jika terus menerus ditetesi air akan berlubang juga. Begitu juga Hanifa. Boleh saja dia membatu atas syariah Islam. Namun ketika dia membiarkan dirinya terus ditetesi ilmu, alhamdulillah luluh juga. Beberapa tahun berjalan, dia bersedia ngaji intensif. Dia tekun dan disiplin mengikuti kajian.

Namun jangan dikira hijrahnya Hanifa happy ending. Belum. Hingga di titik tertentu dia mengulah lagi. Dia berbalik lagi, setelah terjadi sedikit perubahan ke arah ketaatan. Pacaran lagi. Sempat break ngaji beberapa saat.

Sampai disini, aku mengira kisahnya dalam berhijrah sudah selesai. Buruknya prasangkaku. Aku lupa, kalau akal seseorang masih aktif selama dia hidup.

Kemungkinan berubah selalu ada. Seharusnya tak ada seseorang yang berani menjudge orang lain nggak bakal berubah. Sebab tak ada manusia yang mampu melihat masa depan. Pun Allah swt membuka kesempatan bagi siapa saja untuk kembali pada syariatNya. Selama nyawa masih dikandung badan, kesempatan itu masih ada.

Pada detik jemariku menuliskan ini, Hanifa sudah rutin kembali mengkaji Islam. Makin semangat mengamalkan Islam. Juga mengajak orang lain untuk berhijrah seperti dirinya. Ia ingin kenikmatan berada di jalan Islam juga dirasakan yang lainnya. Alhamdulillah.

0 Comments

Post a Comment