Foto hanya ilustrasi, by Mina News |
Zaman ini zamannya hijrah. Para artis
banyak yang hijrah. Penggiat media sosial makin banyak yang obrolannya
cenderung pada agama. Bermunculan para penggiat dakwah yang mengajak umat
kembali pada Islam.
Alhamdulillah, satu demi satu muslim di
sekitarku pun memilih untuk lebih dekat pada agama. Tak terkecuali temanku yang
satu ini, Hanifa.
Aku searching di google tentang nama
Hanifa. Arti nama itu bagus sekali. Hanifa, yang taat kepada agama Islam. Insya
allah temanku yang satu ini berada dalam ketaatan. Dia punya kisah hijrah
tersendiri.
Sejak masuk kampus Hanifa sudah
bersentuhan dengan aktivitas pengajian anak-anak kampus. Biasanya para aktivis
dakwah kampus memang tak melewatkan momen awal tahun ajaran. Mereka bakal
membuat acara penyambutan untuk mahasiswa baru. Selanjutnya mengajak para
mahasiswa baru itu untuk mengkaji Islam rutin bersama mereka. Hanifa jadi salah
satu yang diajak dan tertarik ikut pengajian.
Kajian Islam biasanya diadakan setiap
minggu di hari Jum’at. Hampir tiap
minggu Hanifa rutin menghadirinya. Beragam ilmu Islam didapatkannya. Mengenai
makna keimanan. Tujuan hidup. Konsekuensi iman. Makna cinta kepada Allah swt
dan Rasul. Berhijab syar’i. Pergaulan dalam Islam. Dan sebagainya.
Bulan demi bulan berlalu, Hanifa terus
rajin mengikuti kajian. Uniknya, belum ada perubahan berarti pada dirinya. Pakaian
masih serba ketat. Kerudung tak menutupi dada. Berteman dengan para pria.
Bahkan pacaran.
Dari kajian yang bersifat umum,
teman-teman pengajian Hanifa mengajaknya mengikuti kajian khusus. Bedanya
dengan kajian umum, jumlah jamaah dibatasi maksimal lima orang. Kajiannya lebih
mendalam. Prakteknya dipantau. Proses jatuh bangun dalam berhijrah dibersamai.
Agar perubahan diri objek dakwah lebih nyata terjadi.
Namun Hanifa enggan menyambut ajakan
kajian Islam khusus. Ajakan tersebut diartikannya sebagai pintu pengekangan.
Dibayangkannya dia bakal menjadi bagian dari jamaah dengan segudang aturan. Dia
khawatir ketatnya aturan tak disukainya, hingga ia merasa tersiksa.
Padahal sesungguhnya, menjadi bagian dari
jamaah berarti dia bisa lebih dekat dengan teman hijrah. Bukankah konsisten
salah satunya terjadi saat sering berada dalam suasana amar ma’ruf? Dalam bersama jama'ahlah kita akan mendapatkan suasana ruhiyah itu.
Menolak mengkaji lebih intensif bukan
berarti Hanifah menjauh. Dia benar – benar unik. Karena bersedia terus hadir di
Majelis Ta’lim di hari Jum’at. Meski tanpa perubahan. Dia senang mendengar kajian.
Tapi belum siap untuk berubah.
Yang namanya batu, jika terus menerus
ditetesi air akan berlubang juga. Begitu juga Hanifa. Boleh saja dia membatu
atas syariah Islam. Namun ketika dia membiarkan dirinya terus ditetesi ilmu,
alhamdulillah luluh juga. Beberapa tahun berjalan, dia bersedia ngaji intensif.
Dia tekun dan disiplin mengikuti kajian.
Namun jangan dikira hijrahnya Hanifa
happy ending. Belum. Hingga di titik tertentu dia mengulah lagi. Dia berbalik
lagi, setelah terjadi sedikit perubahan ke arah ketaatan. Pacaran lagi. Sempat
break ngaji beberapa saat.
Sampai disini, aku mengira kisahnya dalam
berhijrah sudah selesai. Buruknya prasangkaku. Aku lupa, kalau akal seseorang
masih aktif selama dia hidup.
Kemungkinan berubah selalu ada. Seharusnya
tak ada seseorang yang berani menjudge orang lain nggak bakal berubah. Sebab
tak ada manusia yang mampu melihat masa depan. Pun Allah swt membuka kesempatan
bagi siapa saja untuk kembali pada syariatNya. Selama nyawa masih dikandung
badan, kesempatan itu masih ada.
Pada detik jemariku menuliskan ini,
Hanifa sudah rutin kembali mengkaji Islam. Makin semangat mengamalkan Islam.
Juga mengajak orang lain untuk berhijrah seperti dirinya. Ia ingin kenikmatan
berada di jalan Islam juga dirasakan yang lainnya. Alhamdulillah.
0 Comments
Post a Comment