Pidjar.com |
Ada peristiwa unik terjadi di Desa
Hargosari, Kecamatan Tanjungsari, Gunung Kidul,
DIY. Ratusan siswa di sebuah sekolah bernama SD Mentel 1 menyisihkan uang jajan
mereka untuk tambahan gaji 8 Guru Tidak Tetap (GTT) dan Pegawai Tidak Tetap
(PTT). Para siswa tersebut merasa kasihan dengan guru mereka yang bergaji sangat
kecil.
Perbulannya GTT disana hanya digaji 100 ribu/ bulan ditambah 200 ribu
dari Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Salah seorang guru mengaku
menjalani kondisi prihatin tersebut sejak tahun 2005. Tak terbayangkan
bagaimana mereka menjalani hidup selama ini. Dengan kondisi berbagai harga
kebutuhan pokok yang meningkat, tentu hidup para GTT penuh keterbatasan. Hebatnya,
sebagian besar mereka tetap bertahan untuk mengajar.
Apa yang kita rasakan, jika melihat ada
orang yang mengambil alih tugas orang lain. Jika kita adalah orang ketiga,
barangkali kita akan merasa kagum melihat ada orang yang mau mengerjakan tugas
orang lain. Dimata kita orang itu baik hati dan peduli pada sesama.
Rasa itu
diikuti dengan rasa prihatin terhadap pihak yang mempunya tugas. Bisa – bisanya
dia membiarkan orang lain memikul tanggung jawabnya. Maka sikap yang seharusnya
dimiliki oleh orang yang memiliki tugas tersebut adalah malu. Selayaknya dia
segera menghentikan pengambilalihan tugas tersebut dan menyelesaikan sendiri
tugasnya.
Ilustrasi di atas penulis tujukan untuk
kasus yang terjadi di SD Mentel 1 tersebut. Bagi kita, aksi heroik para siswa
SD Mentel 1 yang dilakukan sejak Maret 2018 lalu itu memang patut diacungi
jempol. Mereka adalah sedikit dari anak – anak zaman now yang memiliki
kepedulian tinggi pada sesama. Tentu kita senang karena mereka menjadi cikal
bakal pemimpin baik hati ke depannya.
Disamping itu kita juga prihatin terhadap
pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan formal. Pemerintahlah sebenarnya
yang bertanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan para guru. Peran guru
sangat penting bagi masyarakat. Guru yang menanamkan ilmu pengetahuan kepada
kita. Sehingga kita bisa menguasai ilmu dan menjalani berbagai profesi yang
ada. Tak patut mereka diterlantarkan.
Umumnya nasib guru di Indonesia memang
belum sejahtera. Utamanya non sertifikasi atau guru honorer. Menurut Persatuan
Guru Republik Indonesia (PGRI), setidaknya ada sekitar satu juta guru tidak
sejahtera di Indonesia, (https://www.republika.co.id).
Guru honorer bergaji kecil
dan kadang – kadang malah terlambat dibayarkan. Seperti kasus yang terjadi di
Sumut. Berbulan – bulan guru honorer SMA – SMK tak mendapat gaji karena alasan
pengalihan wewenang SMA – SMK dari kabupaten/kota ke pemerintah provinsi, (http://waspadamedan.com).
Makanya penulis merasa janggal dengan pernyataan
Bahron Rasyid, Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora)
Gunungkidul. Beliau tak mempermasalahkan dan bahkan mengapresiasi langkah dari
Komite Sekolah terkait program penggalangan dana untuk GTT dan PTT tersebut.
Letak kejanggalannya adalah saat beliau berharap niat mulia tersebut langgeng
dan bisa ditiru sekolah lain, (Kompas.com). Apa arti kata langgeng itu? Apa
maksudnya para siswa dibiarkan terus menerus menanggung honor para guru?
Boleh saja pihak sekolah dan pemerintah
mengapresiasi amal salih para siswa tersebut. Namun sebagai pejabat dan
berpenghasilan lebih tinggi dibanding para guru honorer itu, pendapat tersebut
kurang bijak. Lebih bijaksana jika beliau berpendapat bahwa daripada jajan anak
– anak tersebut yang terpotong untuk menambah honor guru, lebih baik beliau dan
pejabat lainnya yang menyumbangkan sebagian gaji mereka untuk hal itu.
Para
pejabat hidup mewah dengan gaji dan berbagai tunjangan. Seharusnya mereka yang
lebih dulu tergugah meniru prilaku baik para murid SD Mentel 1.
Sementara itu pihak Pemerintah Daerah
(Pemda) Gunung Kidul mengaku sudah berusaha untuk meningkatkan penghasilan GTT
dan PTT ini. DPRD setempat pun angkat bicara. Anggota DPRD Gunungkidul Imam
Taufik mengatakan, dalam kebijakan umum anggaran dan prioritas anggaran
sementara (KUA-PPAD) upah GTT 2019 diusulkan sebesar Rp 600.000 per bulan.
Meski beliau menyadari bahwa idelanya honor GTT Rp. 1,3 juta sama dengan Tenaga
Harian Lepas (THL). Dari sini kita bisa menilai kalau usaha tersebut minim.
Rencana honor sebesar itu tetap belum layak untuk membayar jasa guru yang
nilainya besar.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Mendikbud) Muhadjir Effendy menjelaskan, rendahnya gaji guru honorer saat ini
lantaran hanya dibiayai oleh pihak sekolah yang mempekerjakan. Sebab, guru
honorer tidak terikat pada instansi manapun, melainkan diangkat oleh kepala
sekolah. Pihak sekolah menggaji guru honorer menggunakan dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS).
Walaupun, tambah beliau, sebetulnya dana BOS tidak
diperkenankan untuk menggaji guru honorer tersebut. Selain dari dana BOS, ada juga
beberapa pemerintah daerah (Pemda) yang sengaja menganggarkan dana Anggaran
Penerimaan dan Belanja Daerahnya (APBD) khusus untuk guru honorer. Sayangnya,
masih sedikit Pemda yang menganggarkan dananya tersebut.
Dalam pandangan Islam, menuntut ilmu
adalah sebuah kewajiban bagi setiap muslim. Wajib ‘ain untuk belajar
Islam, wajib kifayah untuk belajar ilmu keduniaan. ”Menuntut ilmu
itu wajib atas setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah).
Maka Islam mengharuskan pemimpin negara untuk menjamin
terlaksananya kewajiban tersebut. Salah satunya pemimpin harus menyediakan
guru – guru terbaik yang jumlahnya memadai untuk mengajarkan berbagai ilmu yang
dibutuhkan. Tidak ada istilah guru tetap atau tidak tetap.
Semua guru akan
dihargai sesuai jasa mereka. Sumber sejarah menceritakan, saat Islam dijalankan
secara total nasib guru sejahtera. Seperti yang pernah dikatakan oleh Nurman Kholis, peneliti
Pulitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI bahwa di masa
pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab setiap pengajar digaji 15 dinar setiap
bulan, (news.visimuslim.org).
Satu dinar setara
dengan 4,25 gram emas. Jika saat ini harga satu gram emas sekitar lima ratus
ribu rupiah, maka setidaknya guru di masa itu di gaji setara dengan tiga puluh
dua juta rupiah.
Islam menghendaki pemerintah sepenuhnya
mengurus rakyat dan menjamin kesejahteraan mereka. Rasulullah
saw bersabda: “Imam (pemimpin)
itu pengurus
rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atasrakyat yang dia urus”.
(HR al-Bukhari dan Ahmad).
Sementara dalam sistem
kapitalis demokrasi saat ini, peran negara diminimalisir dalam mengurus rakyat.
Sehingga banyak rakyat yang terabaikan kesejahteraannya. Menurut anda kita
pilih mana, tetap menerapkan sistem kapitalis demokrasi atau ganti dengan
sistem Islam?
Opini ini dimuat di koran cetak Harian Waspada Medan tanggal 29 September 2018.
0 Comments
Post a Comment