Tribunnews.com |
Umumnya, pramuniaga sebuah toko bakal
beramah tamah atau minimal bermuka cerah pada pengunjung toko yang datang.
Harapannya, dengan begitu pengunjung lebih berminat untuk membeli. Sebab,
selain faktor benda yang dijual, pelayanan juga cukup menentukan terjadinya
jual beli. Tapi beberapa kali berkunjung ke toko sekitar rumah saya,
penampakannya tak demikian.
Saat berkunjung ke toko assesoris hp, sang
pramuniaga yang berwajah ketat membuntuti saya. Saya paham, bahwa ia memang
ditugaskan demikian, berada di sisi pengunjung toko agar bisa memberi bantuan.
Tapi dengan wajah tak ramah, ditambah satu sikap lagi yang cukup bikin tak
nyaman (dia buru-buru merapikan barang yang baru saja saya pegang, dihadapan
saya), saya pikir itu kurang etis.
Di Ramadhan ini, hal serupa terjadi lagi.
Kemarin saya menemani suami membeli baju koko ke sebuah toko. Kami datang ke
toko itu memang awal sekali. Toko itu belum sempurna dibuka, kami sudah
memilih-milih baju. Masih ada yang menyapu dan mengeluarkan baju-baju untuk
dipajang dibagian depan toko.
Saat sedang memilih-milih baju, seorang
pramuniaga menghampiri kami, dengan wajah datar. Saat itu keadaan masih normal.
Hingga saat kami minta size lain dari baju pilihan kami kepadanya. Tanpa
berusaha mencari lebih maksimal, diapun bilang size yang kami minta tidak ada.
Masih dengan wajah cemberut bahkan kelihatan
lebih buruk lagi ekspresinya. Kalau boleh saya simpulkan menurut penglihatan
saya, dia tidak suka kami mintakan bantuan. “Cari saja dari apa yang dilihat”,
seolah begitu kata wajahnya.
Tak ingin mengurangi nilai puasa saya,
saya berusaha berbaik sangka kepada pramuniaga tersebut. Dibantu oleh suami
saya, kami menilai bahwa barangkali saja ia karyawan baru, yang belum paham
seluk beluk toko, sehingga ia bekerja dalam keadaan mengambang, lalu berefek
pada sikapnya ke pembeli.
Atau barangkali ia lelah, karena setiap
harinya bekerja dari pagi hingga sore bahkan malam hari. Maklum, Ramadhan
adalah waktunya penjualan pakaian meningkat. Dimana karyawan toko juga dituntut
untuk bekerja dengan waktu yang lebih panjang.
Saya berhenti pada kata lelah. Saya
meyakinkan diri kalau memang pramuniaga itu sedang lelah. Sebab sayapun pernah
mengalami hal tersebut. Sebelum menikah, saya pernah bekerja di toko pakaian
yang cukup besar, sebagai kasir.
Di bulan Ramadhan, saya dituntut untuk
lembur. Biasanya jam kerja saya normal, delapan jam, pagi hingga sore. Tapi
selama ramadhan, terutama dua minggu terakhir Ramadhan, para karyawan diminta
hadir pukul 7.30 dan pulang pukul 10 malam.
Bayangkan, dalam keadaan puasa, saya
harus berdiri dalam waktu yang lama, dan dengan memakai high heels. Parahnya,
toko sedang ramai pembeli tepat di waktu berbuka puasa.
Saya pernah membatalkan puasa hanya
dengan seteguk air, sambil tetap melayani pembeli. Lalu saya dan teman-teman
istirahat bergantian dengan jatah waktu yang singkat. Sholat dan makan
terburu-buru lalu bekerja kembali. Dengan kelelahan tersebut, para karyawan tetap
dituntut untuk tersenyum dan melayani pembeli dengan ramah.
Keharusan beramah tamah itupun lebih sering
saya abaikan, tanpa sadar. Saat itu saya merasa kehilangan kaki, saking
pegalnya. Sembari melayani pembeli yang begitu ramai, tak terpikir lagi untuk
memberikan wajah cerah ceria. Saya benar-benar sangat lelah.
Mengingat diri saya dulu, saya pun
memaklumi sikap para pramuniaga toko berwajah kecut itu. Meski kadang kesal juga.
Saya kan manusia biasanya yang ingin dihargai. Tapi saya nggak kepikiran buat
protes ke pemilik toko. Padahal kalau mau, saya bisa bilang, karena pemilik
toko ada di kursi kasir.
Saya memaklumi sekaligus prihatin pada
kondisi para pekerja yang ada. Tenaga mereka begitu diporsir untuk mendapatkan
uang yang tak seberapa. Gaji pas-pasan, hanya cukup untuk melanjutkan hidup
sehari-hari agar tenaga tetap ada untuk bekerja. Daya tawar mereka rendah dan
harus rela bekerja keras serta digaji murah. Ditambah mahalnya harga kebutuhan
hidup akibat kebijakan pemerintah, derita para buruh terasa lengkap.
Disamping itu saya bersyukur. Sebab sekarang
keadaan saya lebih baik setelah menikah. Saya bisa mengisi Ramadhan sesuai
program ibadah yang saya tetapkan. Sholat sunnah, membaca al Qur’an dan lain
sebagainya bisa saya lakukan. Saya pun bisa istirahat dengan cukup. Bisa tidur jelang
sholat zuhur dan tidur tepat waktu pada malam hari. Alhamdulillah.
Harapan saya, semoga kondisi masyarakat
secara keseluruhan dapat menjadi lebih baik. Saya merindukan keberkahan bagi
keseluruhan hidup kita. Tentunya itu bisa terjadi saat syariah Islam diterapkan
secara sempurna dalam hidup kita.
Senyum, salam, sapa bisa buat konsumen betah belanja.. memang banyak faktor yang mempengaruhi mood dalam bekerja..
ReplyDeleteDilematis jika dihadapkan antara pekerjaan yang benar-benar dibutuhkan untuk mencari nafkah dengan kesempatan beribadah, kalo saya selama ibadah wajib saya masih bisa saya jalankan dan masih ada waktu untuk menjalankan ibadah sunnah, lanjut,, namun klo sudah berefek lalai pada ibadah wajib,, lebih baik ditinggalkan, barokahnya udah hilang
kadang memang ada hal-hal yang tidak dirasakan oleh pembeli menjadi seorang pramuniaga, padahal mereka sudah berusaha seprofesional mungkin, tapi apa daya suasana hati akibat kelelahan dan lain-lain membuatnya terkadang bersikap seperti itu. Syukurnya mbak paham
ReplyDelete