Sekitar lima atau enam tahun lalu
(tepatnya lupa), saya pernah beli bucil alias buku kecil berjudul
“Understanding Mazhab” karya seorang da’i di Kota Banjarmasin, Fauzan al
Banjari. Belinya iseng. Karena bukunya kecil, murah, saya toh juga butuh ilmu,
jadi saya beli.
Secara umum ngerti sih kalau isinya
penjelasan bagaimana memahami perbedaan pendapat dikalangan ahli fiqih. Tapi
rupanya buku mungil itu nyelesaikannya nggak semudah bayangan saya. Buka
halaman pertama, malas lanjut baca. Soalnya banyak nemu istilah bahasa arab.
Meski ada terjemahnya, tetap aja nggak selera buat lanjut.
Sekitar dua bulan lalu saya benar-benar
berkomitmen untuk membaca tuntas buku-buku yang pernah dibeli. Cukup banyak
buku saya yang dibeli tapi nggak dibaca. Entah karena kasus kayak buku yang
diceritain di atas, karena bukunya tebal ataupun merasa memang belum selera aja
gitu untuk baca.
Jadi satu persatu buku itu saya baca. Nah
saya baru saja baca tuntas bucil “Understanding Mazhab”. Akhirnyaaaa, setelah
bertahun-tahun dimiliki baru bisa mereguk ilmu di dalamnya. Terlalu ya saya
hehe.
Ada beberapa hal yang saya dapati dari
buku itu. Pertama, tentang defenisi mazhab. Sering ya dengar kata mazhab.
Ternyata mazhab itu artinya kumpulan pendapat fuqaha (ahli fiqih)
berupa hukum Islam terperinci yang digali dari al Qur’an dan as sunnah serta
sumber lainnya yang disetujui keduanya.
Di dalam defenisi itu ada dua poin, yaitu
sekumpulan hukum Islam yang digali dan
ushul fiqih (metode menggali hukum). Jadi kalau dikatakan, mazhab syafi’i berarti
itu fiqih Imam syafi’i yang beliau gali dari al Qur’an, As sunnah dan sumber
yang disetujui keduanya, menggunakan tata cara hasil temuan beliau sendiri.
Agak
ribet ya? Ya sih, ini ilmu tingkat tinggi. Tapi sebenarnya semua muslim terbuka
peluang buat memahami ilmu fiqih. Asal memberi perhatian mendalam pada ilmu
tersebut.
Kedua, tentang sejarah kemunculan
mazhab-mazhab fiqih. Islam pernah jaya. Nggak ada yang bisa memungkiri hal itu.
Salah satu masa itu, zaman Kekhilafahan Abbasiyah. Kalau pernah dengar nama Khalifah
Harun Ar Rasyid dalam dongeng Abu Nawas, nah itu dia.
Saat itu kondisi politik stabil.
Kesejahteraan ekonomi tercipta. Kebanyakan ulama dan fuqaha punya semangat
belajar yang tinggi. Pembukuan berbagai ilmu seperti tafsir dan hadist marak.
Diskusi keislaman ramai. Dan tak kalah berpengaruh adalah perhatian Khalifah
(pemimpin negara) pada pendidikan.
Maka di zaman itu setidaknya lahir
sekitar 13 orang ulama besar bergelar mujtahid (penggali hukum) atau fuqaha
yang membentuk mazhab. Yang terkenal di antaranya empat imam, Maliki, Abu
Hanifa, Imam Syafi’i dan Hambali. Pendapat mereka dalam cabang-cabang ilmu
Islam berbeda-beda.
Seperti yang saat ini kita saksikan, salah
satunya perbedaan tata cara sholat Imam Syafi’i dengan Imam Maliki. Yang pernah
berhaji pasti melihat beragam tata cara sholat jamaah di sana.
Ketiga, mengapa terjadi perbedaan
pendapat di kalangan fuqaha? Ringkasnya, perbedaan terjadi karena tiga faktor,
yaitu karena beda dalam memahami sumber hukum Islam, dalil dan sisi kebahasaan.
Keempat, bagaimana sikap kita? Ini yang
penting. Karena terkadang, masih ada yang salah paham dengan perbedaan dalam
hal fiqih. Masih ada yang enggan menerima perbedaan. Seolah pendapat yang ia
pilih benar, pendapat yang lain salah.
Ini kayak masalah yang timbul karena
qunut atau tidak qunut, raka’at salat tarawih dan lain-lain. Syukurlah saya
dibuat paham sama buku ini.
Yang jelas Islam membolehkan perbedaan
dalam hal cabang hukum Islam. Kayak tata cara salat, tata cara puasa dan yang
semisal.
Yang nggak boleh beda masalah pokok-pokok
akidah dan pokok-pokok syariah. Semisal, kita nggak boleh beda memahami kalau
Allah swt satu-satunya yang harus disembah. Sholat lima waktu itu wajib. Nutup
aurat itu wajib. Hukum sanski Islam itu wajib dijalankan dan lain-lain.
Jadi sikap kita adalah mengambil salah
satu pendapat dari fuqaha terkait fiqih dan menerima adanya perbedaan
yang ada. Kita tak perlu bertengkar hanya karena perbedaan yang dibolehkan
Allah swt.
Perbedaan dalam fiqih adalah rahmat.
Sebaliknya kita harus satu suara dalam hal-hal yang disuruh Allah swt untuk kita
sepakati. Catatan ini buat saya dan buat yang baca juga. Semoga bisa diambil
manfaatnya. Wallahu a’lam bishawab.
Tadi baru aja bahas kata mazhab... Eee... Nemu judul tulisannya mbak.
ReplyDeleteIya... Kita emang perlu baca yg begini, paling gak jadinya kan paham.. Bahwa ada tata cara ibadah yg sedikit berbeda yang memang ada dalilnya dan ada pula yang sebenarnya adalah bid'ah. Jadi gak langsung menjudge bahwa orang lain itu melakukan bid'ah atau ibadahnya salah ya kan mbak��
iya betul mbal :)
ReplyDelete