Friday, May 19, 2017

Cara Ampuh Atasi Kebiasaan Suka Menunda


Biasanya, kalau sesuatu itu belum menjadi kebiasaan, kendala kita adalah menunda. Yup, terkadang masih ada yang suka nunggu momen gitu untuk memulai kebiasaan baru. “Nanti deh, mulai Ramadhan aja menghafal al Qur’annya”. “Pas kan aja lah awal tahun, biar fresh”. (jujur saya masih begini hehe)

Kalau untuk aktivitas sehari-hari, kadang kita juga suka menunda, seperti: nyetrika nunggu tumpukan pakaian segunung dulu, menunda shalat, menunda untuk berangkat lebih awal ke tempat tujuan dan lain sebagainya.  (Astaghfirullah, ini juga saya).

Menunda-nunda adalah kesalahan  bersikap. Setidaknya ada 4 dampak menunda-nunda: petama, bisa jadi aktivitas itu batal dilaksanakan. Kedua, kalaupun tetap dilaksanakan bisa bisa tidak optimal. Ketiga, menunda pekerjaan dan mengisi waktu yang ada untuk berleha-leha malah mengurangi produktivitas, banyak hal terlalaikan. Keempat, merasa beban pekerjaan bertambah berat.

Ini dia masalah orang yang suka menunda-nunda, serta cara mengatasinya;

Thulul amal
Imam Ghazali menyebut sifat panjang angan-angan sebagai thulul amal. Ciri-cirnya sering nyebut, “Nantilah, kan besok masih ada waktu”.  “Nantilah”. “Nantilah”. Dan redaksi sejenis.
Dengan Thulul amal seseorang merasa bahwa ia akan hidup hingga waktu yang akan datang. Padahal nyatanya kematian kapan saja bisa datang.

So, thulul amal harus dimusnahkan. Caranya, Ingat mati!! Rasulullah saw bersabda: “Jika engkau telah berdiri di dalam shalatmu, maka lakukanlah shalat sebagai shalat seorang yang akan meninggal.” (HR. Ahmad)

Kunci yang diberikan oleh Rasul amat jitu membuat kita khusyuk shalat, yaitu ingat kematian. Tak cuma itu, ingat mati juga ampuh melenyapkan thulul amal. Kita tanamkan keyakinan, “jangan-jangan kalau hari ini tidak kulakukan, besok aku akan…….”.
“Jangan-jangan ini kesempatanku yang terakhir buat menghafal al Qur’an”.
Jangan-jangan……

Lebih percaya pada dugaan dibandingkan realitas
Kadang ada orang yang memandang bahwa dirinya mampu melaksanakan suatu urusan dalam jangka waktu sebentar. Misal nih saya, merasa bisa bawa motor dengan kencang, nyampek tempat pengajian paling dua puluh menit. Jadi prasangka itu membuat saya benar-benar memberi sela waktu 20 menit buat perjalanan.

Emang benar sih, saya bawa motor lumayan bisa seperti yang saya bayangkan. Tapi gimana kalau macet, atau ban bocor dan kendala lainnya. Pernah saya tancap gas dengan asumsi demikian, eh di jalan malah jatuh karena terburu-buru kurang konsentrasi, salah pencet rem. Yang ada telat, dan badan lecet.

Padahal sebenarnya saya sudah bisa berangkat 40 menit sebelumnya, tapi karena.. oh prasangka. Salah satu hadist Rasulullah saw sebagai pengingat: “Bersegeralah kamu sekalian untuk melakukan amal-amal shalih, karena akan terjadi suatu bencana yang menyerupai malam yang gelap gulita dimana ada seseorang pada waktu pagi ia beriman tetapi pada waktu sore ia kafir; pada waktu sore ia beriman namun pagi harinya ia kafir; ia rela menukar agamanya dengan sedikit keuntungan dunia.” (HR. Imam Muslim)

Berarti zhan (prasangka) harus dihindari ya. Selain itu juga, mesti selalu dalam keadaan sadar akan kelemahan diri dan paham bahwa ada qada Allah yang kapanpun bisa menghampiri. 

Menjadikan Orang Lain Sebagai Tolak Ukur
Sepele memang, belum ingin melakukan karena orang lain tidak melakukan. “Dia aja nggak nutup aurat nggak papa kok, haji lagi”. ”Dia aja nggak menghafal qur’an, padahal rajin ngaji loh. Nggak papa toh aku nanti-nanti aja.”

Kalau kata Ustadz Rahmat, penulis buku tersebut, orang begitu cerminan sikap yang tidak mandiri. Dia menyangka kebahagiaan atau kecelakaan dirinya ditentukan oleh orang lain. Padahal dihadapan Allah swt kita bertanggungjawab sendiri-sendiri. Allah Swt berfirman: “Tidaklah suatu jiwa menanggung dosa orang lain.” (QS. Al-An’am: 164).

Dan pada hari kiamat kelak, masing-masing diri termasuk orang dekat kita pun akan sibuk dengan urusannya yang amat penting, yaitu soal hisab. (QS. Ath-Thur:21)

Kalau kita sadari ayat-ayat Allah swt itu, nggak bakal menggantungkan perbuatan kita pada melakukan atau tidaknya orang lain. Dia akan punya prinsip, “Orang lain membaca al Qur’an atau tidak, aku tetap membaca”. “Orang lain beli buku atau tidak, aku harus tetap beli buku”.

Malas
Malas itu bisa menghinggapi siapa saja. Tapi sebenarnya ia musuh kita. Karena ia datangnya dari hawa nafsu dan bisa saja ditunggangi oleh setan. Maka dua hal yang bisa kita lakukan. Pertama, mengaharuskan diri kita sendiri mengabaikan rasa malas. Kalau malas baca buku, ya baca saja, kalau memang sudah djadwalkan. Kalau malas sholat tahajjud, paksa badan untuk bangun dan segera wudhu.

Kedua, berlindung pada Allah swt dari godaan setan. Nabi Saw mengajari umatnya untuk selalu berdoa seperti ini:
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari sikap lemah dan malas; aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan bakhil; dan aku berlindung kepada-Mu dari bergelimang hutang dan dikuasai oleh orang lain.” (dalam al-Ma’tsurat)

Menunda Karena Tak Tahu Harus Berbuat Apa
Hidup dengan perencanaan aktivitas sehari-hari bukan cuma dibutuhkan sama orang pelupa kayak saya, tapi memang seharusnya dilakukan semua orang. Rasul mencontohkan hidup penuh perencanaan. Sehingga tak ada waktu yang terbuang sia-sia.

Nah, efek yang amat mungkin terjadi kalau tak punya jadwal kegiatan, ya menunda-nunda. Karena merasa tak ada yang harus dilakukan, selain melakukan kegiatan yang sudah ada diingatan dan dianggap rutin. Kayak anak sekolah atau anak kuliahan gitu seringnya. Pulang sekolah merasa tak punya kegiatan lantas menghabiskan waktu buat hal-hal yang bersifat hiburan.

Ibu rumahtangga juga gitu. Selesai ngurus rumah, udah deh ngerumpi di tetangga atau nonton sinetron. Padahal banyak amal salih yang bisa dilakukan seperti menghafal al qur’an dan belajar bahasa arab itu.

Over Activity

Manusia memiliki kelemahan. Dan letak kelemahan kita, kitalah yang tau. Jadi kita harus pintar-pintar juga mengukur kesanggupan diri kita untuk melaksanakan suatu kegiatan. Ukur baik-baik waktu pelaksanaannya. Jangan sampai karena satu aktivitas yang satu ini, aktivitas lainnya yang memang wajib kita laksanakan malah tertunda.

Akhir kata, memilih menjadi muslim terbaik dihadapan Allah atau tidak, kuncinya ada pada diri kita masing-masing. Semoga kita semua jadi muslim bermanfaat, amin.

“Diantara baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan apapun yang tidak berguna baginya” (HR. Imam Tirmidzi)


Sumber: Buku Pilar-Pilar Pengokoh Integritas Pengemban Dakwah (Dari Ruhiyah Menuju Daulah) karya Ustadz Muhammad Rahmat Kurnia.

0 Comments

Post a Comment