Biasanya, kalau
sesuatu itu belum menjadi kebiasaan, kendala kita adalah menunda. Yup,
terkadang masih ada yang suka nunggu momen gitu untuk memulai kebiasaan baru.
“Nanti deh, mulai Ramadhan aja menghafal al Qur’annya”. “Pas kan aja lah awal
tahun, biar fresh”. (jujur saya masih begini hehe)
Kalau untuk
aktivitas sehari-hari, kadang kita juga suka menunda, seperti: nyetrika nunggu
tumpukan pakaian segunung dulu, menunda shalat, menunda untuk berangkat lebih
awal ke tempat tujuan dan lain sebagainya.
(Astaghfirullah, ini juga saya).
Menunda-nunda adalah
kesalahan bersikap. Setidaknya ada 4
dampak menunda-nunda: petama, bisa jadi aktivitas itu batal dilaksanakan.
Kedua, kalaupun tetap dilaksanakan bisa bisa tidak optimal. Ketiga, menunda
pekerjaan dan mengisi waktu yang ada untuk berleha-leha malah mengurangi
produktivitas, banyak hal terlalaikan. Keempat, merasa beban pekerjaan
bertambah berat.
Ini dia masalah
orang yang suka menunda-nunda, serta cara mengatasinya;
Thulul amal
Thulul amal
Imam Ghazali menyebut sifat panjang angan-angan sebagai thulul
amal. Ciri-cirnya sering nyebut, “Nantilah, kan besok masih ada waktu”. “Nantilah”. “Nantilah”. Dan redaksi sejenis.
Dengan Thulul amal seseorang merasa bahwa ia akan hidup hingga waktu
yang akan datang. Padahal nyatanya kematian kapan saja bisa datang.
So, thulul amal harus dimusnahkan. Caranya, Ingat mati!! Rasulullah
saw bersabda: “Jika engkau telah berdiri di dalam shalatmu, maka lakukanlah
shalat sebagai shalat seorang yang akan meninggal.” (HR. Ahmad)
Kunci yang diberikan oleh Rasul amat jitu membuat kita khusyuk
shalat, yaitu ingat kematian. Tak cuma itu, ingat mati juga ampuh melenyapkan
thulul amal. Kita tanamkan keyakinan, “jangan-jangan kalau hari ini tidak
kulakukan, besok aku akan…….”.
“Jangan-jangan ini kesempatanku yang terakhir buat menghafal al
Qur’an”.
Jangan-jangan……
Lebih percaya pada dugaan dibandingkan realitas
Kadang ada orang yang memandang bahwa dirinya mampu melaksanakan
suatu urusan dalam jangka waktu sebentar. Misal nih saya, merasa bisa bawa
motor dengan kencang, nyampek tempat pengajian paling dua puluh menit. Jadi
prasangka itu membuat saya benar-benar memberi sela waktu 20 menit buat
perjalanan.
Emang benar sih, saya bawa motor lumayan bisa seperti yang saya
bayangkan. Tapi gimana kalau macet, atau ban bocor dan kendala lainnya. Pernah
saya tancap gas dengan asumsi demikian, eh di jalan malah jatuh karena
terburu-buru kurang konsentrasi, salah pencet rem. Yang ada telat, dan badan
lecet.
Padahal sebenarnya saya sudah bisa berangkat 40 menit sebelumnya,
tapi karena.. oh prasangka. Salah satu hadist Rasulullah saw sebagai pengingat:
“Bersegeralah kamu sekalian untuk melakukan amal-amal shalih, karena akan
terjadi suatu bencana yang menyerupai malam yang gelap gulita dimana ada
seseorang pada waktu pagi ia beriman tetapi pada waktu sore ia kafir; pada
waktu sore ia beriman namun pagi harinya ia kafir; ia rela menukar agamanya
dengan sedikit keuntungan dunia.” (HR. Imam Muslim)
Berarti zhan (prasangka) harus dihindari ya. Selain itu juga, mesti
selalu dalam keadaan sadar akan kelemahan diri dan paham bahwa ada qada Allah
yang kapanpun bisa menghampiri.
Menjadikan Orang Lain Sebagai Tolak Ukur
Sepele memang, belum ingin melakukan karena orang lain tidak
melakukan. “Dia aja nggak nutup aurat nggak papa kok, haji lagi”. ”Dia aja
nggak menghafal qur’an, padahal rajin ngaji loh. Nggak papa toh aku nanti-nanti
aja.”
Kalau kata Ustadz Rahmat, penulis buku tersebut, orang begitu
cerminan sikap yang tidak mandiri. Dia menyangka kebahagiaan atau kecelakaan
dirinya ditentukan oleh orang lain. Padahal dihadapan Allah swt kita
bertanggungjawab sendiri-sendiri. Allah Swt berfirman: “Tidaklah suatu jiwa
menanggung dosa orang lain.” (QS. Al-An’am: 164).
Dan pada hari kiamat kelak, masing-masing diri termasuk orang dekat
kita pun akan sibuk dengan urusannya yang amat penting, yaitu soal hisab. (QS.
Ath-Thur:21)
Kalau kita sadari ayat-ayat Allah swt itu, nggak bakal
menggantungkan perbuatan kita pada melakukan atau tidaknya orang lain. Dia akan
punya prinsip, “Orang lain membaca al Qur’an atau tidak, aku tetap membaca”.
“Orang lain beli buku atau tidak, aku harus tetap beli buku”.
Malas
Malas itu bisa menghinggapi siapa saja. Tapi sebenarnya ia musuh
kita. Karena ia datangnya dari hawa nafsu dan bisa saja ditunggangi oleh setan.
Maka dua hal yang bisa kita lakukan. Pertama, mengaharuskan diri kita sendiri
mengabaikan rasa malas. Kalau malas baca buku, ya baca saja, kalau memang sudah
djadwalkan. Kalau malas sholat tahajjud, paksa badan untuk bangun dan segera
wudhu.
Kedua, berlindung pada Allah swt dari godaan setan. Nabi Saw
mengajari umatnya untuk selalu berdoa seperti ini:
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari sikap lemah
dan malas; aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan bakhil; dan aku
berlindung kepada-Mu dari bergelimang hutang dan dikuasai oleh orang lain.”
(dalam al-Ma’tsurat)
Menunda Karena Tak Tahu Harus Berbuat Apa
Hidup dengan perencanaan aktivitas sehari-hari bukan cuma
dibutuhkan sama orang pelupa kayak saya, tapi memang seharusnya dilakukan semua
orang. Rasul mencontohkan hidup penuh perencanaan. Sehingga tak ada waktu yang
terbuang sia-sia.
Nah, efek yang amat mungkin terjadi kalau tak punya jadwal
kegiatan, ya menunda-nunda. Karena merasa tak ada yang harus dilakukan, selain
melakukan kegiatan yang sudah ada diingatan dan dianggap rutin. Kayak anak
sekolah atau anak kuliahan gitu seringnya. Pulang sekolah merasa tak punya
kegiatan lantas menghabiskan waktu buat hal-hal yang bersifat hiburan.
Ibu rumahtangga juga gitu. Selesai ngurus rumah, udah deh ngerumpi
di tetangga atau nonton sinetron. Padahal banyak amal salih yang bisa dilakukan
seperti menghafal al qur’an dan belajar bahasa arab itu.
Over Activity
Manusia memiliki kelemahan. Dan letak kelemahan kita, kitalah yang
tau. Jadi kita harus pintar-pintar juga mengukur kesanggupan diri kita untuk
melaksanakan suatu kegiatan. Ukur baik-baik waktu pelaksanaannya. Jangan sampai
karena satu aktivitas yang satu ini, aktivitas lainnya yang memang wajib kita
laksanakan malah tertunda.
Akhir kata, memilih
menjadi muslim terbaik dihadapan Allah atau tidak, kuncinya ada pada diri kita
masing-masing. Semoga kita semua jadi muslim bermanfaat, amin.
“Diantara baiknya
Islam seseorang adalah meninggalkan apapun yang tidak berguna baginya” (HR.
Imam Tirmidzi)
Sumber: Buku
Pilar-Pilar Pengokoh Integritas Pengemban Dakwah (Dari Ruhiyah Menuju Daulah)
karya Ustadz Muhammad Rahmat Kurnia.
0 Comments
Post a Comment