Saturday, December 10, 2016

Rezeki Yang Tiada Disangka

صاحب القرآ
Sintia tak bisa hindari perasaan rindu, menyatu dengan belahan hati. Bukan tak sabar. Bukan tak yakini janji Allah. Bukan sebatas desakan keluarga. 

Bukan hanya karena dorongan usia. Tapi dia mendamba segera bertemu pemimpin yang mengimami sholatnya. Mengharap teman sejati yang hadir, saat dia sedang kepayahaan memahami ilmu Islam, lalu dengan lembut menjelaskan. 

Kapan dia merasakan diri menjadi perempuan utuh, melahirkan para Qurrata A’yun, yang melalui doa-doa mereka dia bisa menginjak syurga.

“Siapa gerangan jodoh yang disediakan Allah swt untukku? Dimana dia? Kapan bisa bersama.”

Di usianya yang ke tigapuluh tiga, Sintia dikelilingi para sahabat bersama suami dan anak-anak mereka. Pemandangan yang mengesankan, membuat Sintia mengiba pada Allah swt Sang pemilik ketetapan. Kiranya Dia berkenan bersegera mempertemukan Sintia dengan pasangan hidupnya. 

Apalah daya, Allah swt masih beri ujian pada hati Sintia. Mengajarkan untuk lebih bersabar. Menahan rasa, karena Dia lebih tahu yang terbaik bagi hambaNya.

Namun kali ini, kegundahan hati Sintia menanti penyempurna separuh agamanya dikalahkan dengan kesedihan kehilangan salah satu sahabat tercinta. Ibu kepala sekolah tahfizh qur’an tempatnya mengajar berpulang. 

Sengatan listrik tegangan tinggi telah merenggut nyawanya. Kesedihan teramat sangat di hati Sintia, mengingat jasa-jasa beliau kepadanya.

Sintia terkenang, saat dulu dia kebingungan mencari pekerjaan, Ustadzah Neneng memberi penawar rasa bingungnya. Dia diterima sebagai guru di Sekolah Tahfizh al Qur’an Ihsanul Insan milik perempuan berusia tiga puluh lima tahun itu

Betapa senangnya hati Sintia. Meski honor mengajar terbilang kurang memuaskan. Pekerjaan itu memberi harapan kebaikan. Kalimat-kalimat Ustadzah Neneng saat pertama kali Sintia mengajar masih terngiang di telinganya.

 “Dek, jadi guru tahfizh di sekolah saya gajinya nggak banyak. Sebab sekolah itu cuma sekolah kecil. Tapi insya allah berkah. Karena Sintia bersama guru lainnya sedang menanam benih kebaikan dalam diri murid murid kalian. Saat mereka kelak jadi penghafal al qur’an yang salih dan saliha, doa mereka bukan cuma buat orangtua mereka. Tetapi juga untuk guru-gurunya. Semoga gaji dari Allah karena menghantarkan anak-anak itu menjadi para penghafal al Qur’an jauh lebih besar. Semoga kalian mendapat syurga.”


Tak cuma janji syurga. Sintia benar-benar merasakan berkahnya. Pada dasarnya Sintia bukan penghafal al Qur’an. 

Berkat mendidik murid-muridnya, Sintia pun memiliki hafalan sebanyak yang diperoleh murid-muridnya. Bahkan lebih. Sebab tak hanya pembinaan dalam jamaah saja, tetapi suasana Qur’ani di sekolah, menambah cintanya pada Islam.

Ditambah, sebulan sekali semua guru di sekolah itu mendapatkan training pendidikan. Ilmu pendidikan Sintia terus bertambah. Mengajar sembari menabung bekal sebagai pendidik anak-anaknya kelak. 

“Aku cuma tamat SMA. Tapi ku pikir, aku nggak kalah dari para sarjana pendidikan hari ini. Karena ilmu pendidikan yang kudapati itu pendidikan Islami, gratis dan langsung ku praktekkan setiap harinya. Alhamdulillah” Begitu dia sering berkata.

Hebatnya lagi, selalu ada saja rezeki dari arah yang tidak disangka sangka. Wa yar zuqhu min haitsu laa yahtasib. Dengan gaji empat ratus ribu rupiah, Sintia sanggup berinfak limapuluh ribu rupiah setiap bulannya.

Yang tak kalah menyenangkan, rasa keibuannya dapat tersalurkan. Allah swt memang belum berkenan rahim Sintia disemai benih-benih makhluk, tapi dia sepuas diri bisa menyayangi anak-anak dan mendidik mereka. 

Wajar kalau murid-murid Sekolah Tahfizh Ihsanul Insan begitu dekat dengannya. Anak-anak itu memeluknya setiap kali berjumpa di luar sekolah. “Cintamu ya Allah, tiada terkira. Sungguh, bersyukur menambah berkah hidupku”. Bisik Sintia dalam hatinya.
***
Sudah seminggu Ustazdah Neneng tiada. Kesedihan dua orang putri cantiknya masih terasa. Anak-anak berusia lima dan enam tahun itu terkadang terlihat menangis di sekolah. 

Teringat bunda tercinta, yang tak pernah marah, selalu senyum, yang sering menceritakan kisah-kisah teladan pada mereka. 

Untung para guru peka. Alya dan Maira tak perah dibiarkan berlama-lama dalam kesedihan. Diajak kumpul dengan teman-teman lagi. Bermain lagi. Mengulang-ulang hafalan lagi. Bernyanyi. Bergembira.

“Ayo-ayo bidadari syurgaaaa, masuk kelas. Sudah waktunya belajar. Ayooo.” Sintia memanggil murid-muridnya dengan panggilan sayang khas dirinya.

“Ayo kita baca sama-sama doa belajanya. Radhitu billahi rabba. Wabil islaamadina. Wabi Muhammadinnabiyya warasula. Rabbi jiddi ‘ilman. Warzuqna fahman. Wa ‘amalan shalihan. Amin

“Kak Hana, silahkan diulangi hafalannya nak. Surat apa kemaren?”

“al Muthaffifin”
***
 “Bagaimana bu dengan persembahan anak-anak di Majelis Ta’lim nanti. Jadi kita latih buat nyanyi Kaulah Ibuku?”

“Ibu tau sendiri kan gimana Alya dan Maira, mereka masih bersedih. Saya pikir menyanyikan lagu itu bisa membuat mereka menangis merindukan ibunya. Kasihan bu.”

“Tapi kita sudah merencanakannya. Kira-kira kita ganti lagu apa ya? Anak-anak juga sudah sempat latihan satu kali sepuluh hari yang lalu kan bu?”

“Coba nanti kita bicarakan lagi sama ibu-ibu yang lain. Saya pikir lagu tentang Rasulullah juga bagus bu.”

Sekolah Tahfizh al Qur’an Ihsanul Insan memang mengajarkan murid-murid untuk berinteraksi dengan para tetangga sekitar. Sehingga mereka dilibatkan dalam majelis ta’lim yang diadakan disana. 

Rencana bulan ini terpaksa sedikit berubah sesuai pembicaraan yang dilakukan Sintia dan Desti serta guru-guru lainnya.
***
          Sintia terbangun tepat saat alarm ponselnya berbunyi. Tangan kanannya meraih benda mungil itu. Menatap lalu mematikannya. 

       Tepat pukul 03.00 pagi. Sintia bangkit, lalu berjalan ke kamar mandi untuk berwudhu. Dalam salatnya, Sintia berusaha khusuk semampu yang dia bisa. 

          Usai menunaikan salat malam, dia menadahkan tangannya. Menagih janji Rabb yang Kuasa, bahwa doa-doa penuh harap dari seorang hamba yang berserah, akan dikabulkanNya.

“Ya Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Hilangkanlah kesedihan di hati Alya dan Maira. Sudah sebulan ibu mereka pergi, tapi mereka masih sering teringat ibunya. Ya Allah yang Maha membolak balik hati. Engkau menguasai hati-hati kami. Sembuhkanlah luka di hati mereka. Kabulkanlah Ya Allah.”
***
Lima bulan kemudian….

          “Umi Mia, Umi Sintia kok nggak nampak. Nggak datang ya?”

          “Iya Maira. Umi Sintia lagi sakit.”

          “Kalau gitu Maira mau jenguk Umi Sintia.”

          “Iyaaa. Nanti ya sepulang sekolah jenguknya.”
***
          “Assalamu’alaikum.”

          “Mau lihat Umi Sintia”

          “Oh iya silahkan masuk. Mari-mari. Mari pak silahkan masuk”

          Ibu Ria, ibunya Sintia mempersilahkan Maira, Alya dan ayahnya masuk.

          “Umi Sintia sakit kepala naaak. Giginya juga sakit. Jadi pusing nggak bisa ngajar. Kecarian Umi Sintia ya.” Ibu Ria menggoda kedua gadis kecil itu sembari tersenyum.

          “Ayo Maira dan Alya ikut nenek ke kamar Umi Sintia. Ayoo”

         Wanita setengah baya itu meninggalkan Alya dan Maira di kamar Sintia. Membiarkan mereka melepas rindu karena tidak belajar bersama hari ini. Sejenak Ibu Ria ke dapur mengambil minuman lalu kembali ke ruang tamu.

          “Bu, boleh saya bicara dengan ibu dan bapak?”

          “Ada apa ya nak. Ada yang penting?”

          “Saya akan sampaikan sama bapak dan ibu”

          Ibu Ria keluar rumah, mendatangi lelaki yang sedang mengotak atik sebuah sepeda motor di bengkel berjarak duapuluh lima meter dari rumah itu, menunggunya sejenak lalu mengajaknya masuk ke dalam rumah.

          “Begini bu, pak. Lima bulan saya merasakan kehilangan sosok istri dan ibu bagi anak-anak saya. Anak-anak butuh kasih sayang seorang ibu. Mereka masih sering sedih teringat ibunya. Saya perhatikan mereka dekat dengan ibu Sintia.” Rafi diam sejenak.

          Ibu dan bapak Sintia berpandang-pandangan.

          “Bolehkah saya meminta Sintia mengisi kekosongan hati anak-anak saya. Bolehkah saya melamar ibu Sintia menjadi istri saya pak, buk?”

          Suasana hening. Ibu Ria meneteskan air mata. Selama ini belum ada lelaki yang datang menyatakan diri seserius ini. Momen ini yang ditunggu-tunggu. Ibu Ria tak berani menjawab. Dia menanti suara suaminya.

          “Kalau saya terserah Sintia saja. Kalau dia bersedia, saya merestui”.

(Latihan Nulis Cerpen, kalau teman-teman sudi kasih masukan, terimakasih banyak..)

2 Comments:

  1. Ceritanya bagus. Saya suka. Walau udah ketebak endingnya kemana tp sy tetap suka. Udah lama bgtvga nulis cerpen. Kpn2 pgn nulis jg aah

    ReplyDelete