Kalau lagi berselelisih sama suamiku, diawal
rasanya pengen terus memelihara rasa kesal. Kebayang bakal nggak cakepan satu
dua atau tiga hari. Aku pengen diam, nggak komunikasi. Ku anggap ini sebagai
pelampiasan kekesalan, sekaligus “hukuman”. Tapi apa yang terjadi? Belum sampai
satu jam, hatiku sudah tak tahan. Bukan kepuasan yang ku rasakan, justru
gelisah, nggak enak, nggak damai rasa hatiku. Meski begitu, gengsi juga kalau
langsung ngajak baikan.
Jadi kalau marahan pagi, biasanya kugunakan moment
makan siang buat baikan. Kalau kejadiannya siang, moment baikannya malam, pas
ketemu di tempat tidur. Nah kalau marahan malam, trus suami udah keburu tidur,
duh rasanya tuh ya, semalaman hati gelisah nggak bisa pejam mata, tidur nggak
nyenyak. Saat hati merindu momen berdamai, siapa yang salah udah nggak penting
lagi. Pengennya baikan. Memelihara rasa marah ternyata nggak enak ya, yang ada menyiksa
hati. Pas udah berdamai, wah leganya minta ampun. Kepada siapapun kita merasa
kesal, ku kira sama saja, kalau dipelihara terus justru merugikan hati sendiri.
Mending berdamai, saling memaafkan.
***
Temanku yang satu ini punya peran penting dalam
khasanah pertemanan yang pernah kugeluti dulu waktu SMA. Jabatannya sebagai
penengah. Ia, sebagai juru damai gitu maksudnya. Jadi ceritanya pernah suatu
masa aku menjalin keakraban dengan dua orang teman. Satunya si beliau ini,
satunya lagi teman yang dari beberapa sisi punya kesamaan denganku. Karena
kesamaan itu membuat kami kadang cekcok. Untung ada si juru damai. Meski “putus
nyambung”, pertemanan kami bertiga awet sampai sekarang.
Temanku yang pandai memposisikan diri jadi juru
damai, dulu dikenal sebagai sosok yang tenang, bijaksana, cukup dewasa,
keibuan, pandai masak, pokoke muantab lah. Wajar kalau banyak yang ngefans sama
si dia. Dari kalangan cewek hingga cowok menghormati dia, menghargai dia dan
senang berteman dengannya. Selain punya pribadi bersahaja, dia juga pintar,
prestasinya selalu teratas. Makin top kan tuh.
Waktu berlalu, masa berganti, periode dunia penuh
kedewasaan kami jalani. Udah tamat sekolah temanku ini bekerja di sebuah perusahaan
BUMN. Posisinya lumayan. Pada fase ini, mulai ku rasakan ada perubahan pada
dirinya. Aku tuh sering main ke kantornya. Ntah untuk say hello aja, atau ada
keperluan lainnya. Pribadi bersahaja pada dirinya saat itu berkurang. Mulai
sering menunjukkan kepanikan dan kekesalan. Suara yang meninggi, raut wajah
kelelahan dan penuh keseriusan. Hemm, ku rasa kondisi hatinya tak sedamai waktu
kami sekolah dulu. Sekarang ia punya beban. Sebagai anak paling besar, dituntut
berkontribusi untuk keluarga. Setelah menikahpun, masih harus bekerja. Artinya,
peran yang bertambah semakin menguras energi dan pikiran untuk membaginya.
Ku paham pula tentang hatinya yang tak damai, saat
rasa ingin bersama anak di rumah harus dikorbankan. Cuti kerja hanya tiga bulan
setelah melahirkan. Setelah itu, ia harus berpisah dengan buah hati lebih
kurang sembilan jam sehari, selama lima hari kerja, senin hingga jum’at.
Hati yang tak damai dalam hal ini, karena terabaikannya
peran utama demi memenuhi tuntutan kebutuhan. Andai ekonomi diatur dengan
Islam. Andai penguasa bertanggungjawab memenuhi kebutuhan rakyatnya sebagaimana
yang diperintahkan Allah Swt. Andai kemuliaan perempuan dijaga dengan Islam. Hingga
ia leluasa melaksanakan peran utamanya saja sebagai ummu wa rabbatul bait,
tentu hati itu akan tetap damai.
***
Tentang perdamaian dunia. Manusia mendambakan
kehidupan bermasyarakat yang damai, tanpa pertengkaran, tanpa pertentangan,
tanpa peperangan. Dewasa ini, semakin banyak orang yang latah menuduh Islam
sebagai biang pertentangan. Kaum muslim yang menginginkan agamanya memimpin
manusia, sementara manusia menganut beragam agama, lantas dianggap merusak
perdamaian yang sudah ada. Disorot pula kaum muslim yang dicap sebagai teroris.
Saat ada kasus bom bunuh diri, saat meledak bom di suatu tempat, tanpa terlebih
dahulu pihak berwenang menyelidiki secara maksimal, buru-buru media dan para
pemimpin dunia berkicau bahwa itu ulah para kaum radikal yang menginginkan
berdirinya negara Islam.
Nyatanya,
perang dunia pertama dan kedua yang amat dahsyat itu bukan ulah kaum muslim.
Kenyataanya, orang-orang barat yang katanya mengusung slogan perdamaian dunia,
menjadi teroris tersangar yang membunuhi kaum muslim di Palestina, Afganistan,
Irak, Suriah dan negeri muslim lainnya. Lalu dimanakah letak kedamaian itu?
Islam menjadikan jihad sebagai metode
menyebarluaskan Islam. Tapi salah, kalau mengira perang ala Islam bar-bar
seperti yang dicontohkan sejarah barat ketika berperang antar mereka dulunya
ataupun saat kini barat memerangi kaum muslim. Jihad punya etika. Diantara
etika perang dalam Islam yaitu tidak boleh menyakiti apalagi membunuh orangtua,
perempuan dan anak-anak. Kenapa Allah Swt memerintahkan untuk berperang?
Kalau
diperhatikan, dalam diri manusia memang sudah ada potensi mempertahankan diri
yang sudah Allah Swt ciptakan. Wujud dari rasa mempertahankan diri itu adalah
berperang. Sejarah barat maupun Islam diwarnai oleh perang. Bedanya, ketika
barat berperang atas dasar hawa nafsunya, maka takkan pernah tercipta kedamaian
seperti kondisi dunia yang saat ini kacau balau.
Lain hal jika perang dilakukan atas dasar iman dan
aturan Islam. Jihad bertujuan untuk melepaskan penduduk suatu wilayah dari belenggu
penguasa mereka yang zhalim, agar orang-orang di sana bisa mendengarkan dakwah
Islam. Islam tak memaksa manusia untuk meyakininya, tapi manusia berhak
mendengarkan kebenaran agama tauhid ini.
Maka bukan suasana yang mencekam yang ada saat
kaum muslim berhasil melakukan futuhat di suatu negeri. Seperti yang diakui
barat sendiri lewat film tentang pembebasan Konstantinopel oleh Panglima Islam
Muhammad al Fatih. Saat pasukan kaum muslim memasuki gerbang Konstantinopel
pertanda kemenangan, warga yang awalnya sempat ketakutan berubah berseri
wajahnya. Sebab sang panglima menjanjikan kedamaian, menjamin bahwa mereka
takkan disakiti, tak kan dipaksa masuk ke dalam Islam, melainkan akan
dilindungi dan dinaungi dengan pemerintahan Islam yang adil.
Islam agama damai dan benar-benar akan membawa
kedamaian bagi penduduk dunia saat ia diterapkan secara sempurna dalam naungan
Khilafah ‘ala minhajjin nubuwah.
0 Comments
Post a Comment