Opini yang dimuat di Harian Waspada Medan, 12 Maret 2016
Dinamika dakwah kampus terusik. Pasalnya
ada pernyataan cukup mengejutkan yang datang dari peneliti Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), Anas Saidi, bahwa dunia kampus terancam adanya
radikalisme ideologi yang merambah melalui proses Islamisasi. Beliau berkata
bahwa kampus kini dikuasai oleh tiga kelompok besar yang radikal yaitu KAMMI,
HTI dan Salafi.
Sampai-sampai beliau juga mengatakan
bahwa gerakan dakwah kampus yang dianggap sebagai ancaman tersebut berpotensi
memporak-porandakan Indonesia serta memecah belah negara karena perbedaan
ideologis, (CNNIndonesia.com, 19/02/2016).
Sebagai bukti Anas Saidi mengutip pula
hasil survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), yang dipimpin Prof Dr
Bambang Pranowo, yang juga guru besar sosiologi Islam di Universitas Islam
Negeri (UIN) Jakarta, pada Oktober 2010 hingga Januari 2011, mengungkapkan
hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal.
Data itu menyebutkan 25% siswa dan 21%
guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8% siswa dan 76,2% guru
setuju dengan penerapan Syariat Islam di Indonesia.
Hikmah Dakwah Kampus
Saya termasuk bagian dari didikan kampus,
yang tersentuh dengan geliat dakwah Islam disana. Saya mengenal cukup baik
gerakan dakwah yang disebutkan oleh Anas Saidi.
Justru yang saya rasakan saat bertemu
mereka adalah kebaikan. Sebelumnya saya tidak pernah tertarik memahami isi al
Qur’an dan as sunnah.
Sebagaimana masyarakat kebanyakan yang
teracuni budaya kebebasan ala barat, saya menganggap shalat sebagai sesuatu
yang tidak begitu penting. Apalagi urusan menutup aurat, berakhlak sampai
menjaga pergaulan, tidak terpikir oleh saya untuk menatanya sesuai Islam.
Namun berkat bimbingan para aktivis
dakwah tersebutlah saya berpikir untuk hijrah dari prilaku ala jahiliyyah barat
kepada kemuliaan Islam. Saya mulai menjaga sholat fardhu bahkan
menambahnya dengan sholat sunnah, mulai membiasakan puasa sunnah, menutup aurat
secara syar’i, mengatur interaksi dengan pria sesuai Islam, belajar
berakhlak baik dengan sesama muslim maupun non muslim dan lain sebagainya.
Berkat mengkaji Islam bersama gerakan
dakwah kampus saya mengenal toleransi yang benar sesuai Islam. Muslim tidak
boleh menyakiti sesama manusia, namun sebaliknya dengan lemah lembut mengajak
mereka pada Islam yang diridhai Allah Swt.
Berkat dakwah itu pula saya paham kalau
segala kerusakan hidup saat ini, seperti merebaknya seks bebas, penyimpangan
seksual LGBT, korupsi hingga penjarahan sumber daya alam oleh penjajah asing
diakibatkan karena beralihnya pandangan manusia dari kesempurnaan hukum Islam.
Manusia lalai dan lupa bahwa Allah Swt
menjanjikan keberkahan dari langit dan bumi jika penduduk suatu negeri beriman
dan bertakwa dengan sebenar-benarnya. Tidak ada ajaran untuk berbuat kekerasan
dalam gerakan dakwah kampus.
Tidak ada ajaran kebencian dan segala apa
yang dituduhkan tersebut. Kami ditanamkan rasa cinta dan jiwa kepedulian, bahwa
kehidupan manusia harus diselamatkan dengan cara kembali kepada aturan Allah
Swt.
Berubah Itu Keniscayaan
Di tengah realita persoalan bangsa yang
bertumpuk-tumpuk seperti kemiskinan massal, korupsi berjamaah, darurat narkoba,
krisis moral remaja, maraknya gerakan penyuka sesama jenis dan lain sebagainya,
adalah hal wajar jika masyarakat berpikir untuk berubah.
Sudah puluhan tahun negeri kita merdeka.
Sudah berkali-kali kita mengalami pergantian pemimpin, namun kehidupan kita
bukannya semakin baik, malah sebaliknya. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat
penduduk Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan hingga September
2015 mencapai 28,51 juta atau 11,13% dari total penduduk Indonesia, meningkat
dari angka 27,73 juta atau 10,96% pada periode September 2014, (sindonews.com,
04/01/2016).
Tingkat pengangguran pun meningkat.
Deputi Neraca dan Analisis Statistik BPS, Suhariyanto mengungkapkan, Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) pada bulan agustus 2015 sejumlah 7,56 juta orang
atau 6,18%, meningkat dari periode yang sama tahun 2014 sebesar 5,94% atau 7,24
juta orang, (bataranews.com). Hal yang sama terjadi pada prilaku seks bebas
remaja, angka penularan penyakit HIV/ AIDS dan lain sebagainya.
Sistem demokrasi kapitalis berasaskan
sekulerisme yang telah diterapkan selama ini terbukti tidak mampu mengatasi
berbagai persoalan yang ada. Wajar bila akhirnya masyarakat meragukan keampuhan
sistem ala barat tersebut. Dan wajar pula bila publik termasuk mahasiswa
berfikir mencari sistem pengganti.
Jika kemudian syariah Islam diajukan
sebagai sumber penyelesaian persoalan, bukankah itu justru konsekuensi logis
keimanan setiap muslim?
Allah Swt berfirman, “Maka demi
Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
(Muhammad) sebagai hakim/pemutus terhadap perkara yang mereka perselisihkan,…”
(An-Nisaa’ 65).
Lalu, apakah layak menganggap
kecenderungan untuk mendukung penerapan syariat sebagai ancaman atau bahaya
bahkan dilabeli radikal ideologis? Sementara yang jelas-jelas menjadi ancaman
bagi negeri ini adalah neoliberalisme dan neoimperialisme.
Rakyat Papua, hidup di tanah yang
diberkahi Allah Swt, dengan sumber daya alam melimpah. Namun masih banyak dari
penduduk Papua yang hidup miskin. Apakah kemiskinan tersebut disebabkan oleh
para pejuang syariah? Bukan, tetapi diakibatkan ulah perusahaan Amerika yaitu
PT. Freeport yang menguasai gunung emas di sana.
Apakah propinsi paling merauke di
Indonesia yaitu Timor Timur lepas dari Indonesia disebabkan para pejuang
Khilafah? Tentu kita sudah tahu bahwa Australia dan pihak-pihak yang
berkepentingan lainnya yang menyebabkan hal itu terjadi. Sementara seruan para
pejuang syariah dan Khilafah adalah persatuan umat Islam di bawah naungan al
Qur’an dan as sunnah.
Maka apa yang dimaksud sebagai ancaman
dari mereka yang ingin hidup dengan syariah Islam? Mereka baru sebatas membuat
wacana, belum ada realisasi karena proses perjuangan masih berlangsung.
Latah Dengan War on Terrorism ala AS
Sesungguhnya dunia sudah menyadari
kemunculan kekuatan baru yang berasal dari dunia Islam. Kekuatan itu akan
mengubah peta perpolitikan dunia dan menyelamatkan hidup manusia yang selama
ini lemah dihadapan kapitalisme.
Khilafah diprediksi akan menggeser
kedudukan Amerika sebagai adidaya dunia. Majalah the Economist (1996)
menyebutkan bahwa pada abad ke 21, akan ada dua kekuatan ekonomi raksasa yang
muncul, yang pertama adalah China dan yang satunya lagi adalah
Kekhalifahan.
Hasil penelitian National
Intellegence Council (NIC) melansir kemungkinan kembalinya Khilafah
Islamiyyah sebagai pemimpin dunia di tahun 2020. Hal inilah yang ditakutkan
Barat, sehingga mereka melancarkan propaganda war on terrorism
(perang melawan terorisme) sebagai upaya menghalangi kebangkitan Khilafah.
Berbagai pernyataan tokoh barat
memperlihatkan ketakutan mereka terhadap berdirinya Khilafah. Donald Rumsfeld
menyatakan pada bulan Februari 2011, “Kami menghadapi musuh yang kejam. Para
Islamis radikal ada di sana.
Mereka berniat untuk mencoba mendirikan
Khilafah di dunia ini dan secara fundamental mengubah sifat negara
bangsa”, http://www.rushlimbaugh.com/daily/2011/02/08/eib_interview_donald_rumsfeld.
Profesor di Harvard, Niall Ferguson,
dalam sebuah wawancara dengan The Telegraph, memperingatkan bahwa menjelang
tahun 2021, “kemungkinan kecil kita mendapatkan demokrasi gaya Barat di Timur
Tengah”. Lebih mengkhawatirkan ketika berpikir tentang kebangkitan kembali
Kekhalifahan”, http://www.telegraph.co.uk/finance/financevideo/8367183/Niall-Ferguson-In-2021-well-be-amazed-how-much-the-world-has-changed.html.
George W. Bush dalam sebuah pidatonya
menyatakan, “Mereka berharap mendirikan utopia kekacauan politik yang melampaui
Timur Tengah yang mereka sebut Chalipate (Khilafah) dan semuanya akan
diatur berdasarkan ideologi kebencian mereka”, https://www.youtube.com/watch?v=fyGTvHijIp8.
Pada tahun 2006 presiden dari negara
demokasi pembela Israel ini dengan nada sinis menyebut kata Khilafah sebanyak
16 kali dalam berbagai pidatonya.
Sejalan dengan misi barat, pemerintah
berkomitmen ikut memimpin pada isu-isu global seperti terorisme dan ekstremisme
kekerasan. Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) AS-ASEAN 2016, Presiden Jokowi
menyebutkan, “serangan di Jakarta mengingatkan pentingnya kerja sama dalam tiga
hal, yakni mempromosikan toleransi, memberantas terorisme dan ekstremisme, serta
mengatasi akar masalah dan menciptakan suasana kondusif terhadap terorisme”.
Kita tentu menyayangkan pernyataan dari
LIPI tersebut. Pernyataan pihak LIPI terindikasi bagian dari proyek
deradikalisasi, yaitu upaya menangkal kebangkitan Islam politik.
LIPI seharusnya menjadi lembaga yang
kredibel untuk menilai kecenderungan masyarakat secara objektif tanpa
dipengaruhi oleh stigma terhadap kalangan tertentu.
LIPI juga tidak seharusnya membuat
penelitian yang justru memunculkan keresahan publik. Sungguh ini merupakan
penyesatan terhadap opini umat dan pemaksaan untuk melibatkan semua pihak dalam
kampanye global ‘perang melawan terorisme’ ala AS.
Jangan jadikan Islam musuh. Karena
ideologi Islam satu-satunya pandangan hidup yang tepat menggantikan ideologi
kapitalisme perusak kehidupan. Wallahu a’lam bishawab.
0 Comments
Post a Comment