Tuesday, August 18, 2015

Komersialisasi Pendidikan

picture by pembebasan-makassar.blogspot.com
Sebagaimana diberitakan banyak media, permasalahan mengenai kelas sisipan oleh sejumlah sekolah negeri bergengsi di Sumatera Utara, muncul kembali kepermukaan. Keresahan masyarakat terutama orangtua siswa terkait masalah tersebut mendorong Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Utara untuk memanggil Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan, Marasutan Siregar guna mempertanyakannya. Ternyata anggota Komisi C DPRD Medan, yang juga merupakan Komite Sekolah SMA Negeri 5 Medan, Godfried Effendi Lubis mengamini hal tersebut. Kepada media beliau membocorkan bentuk dugaan praktek penerimaan siswa sisipan di SMA Negeri 5. Dalam menerima siswa sisipan, pihak sekolah turut memungut biaya dari orangtua siswa sebesar Rp. 6-7 juta per siswa. Ada dugaan konspirasi terselubung antara Kepala SMA Negeri 5 Haris Simamora dengan Kepala Dinas Pendidikan Marasutan Siregar. Sebab, praktek ini masif dan terstruktur, sebut beliau.
SMA Negeri 5 Medan melalui Humasnya, Leo Janser Situmorang tak menampik adanya penerimaan siswa sisipan pasca penyelenggaraan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ini di sekolah tersebut. Yang dibantah oleh beliau adalah mengenai jumlah kelas sisipan tersebut, bukan tiga kelas melainkan hanya ada satu kelas sisipan saja. Pak Leo beralasan, pihaknya membuat kelas tambahan lantaran desakan dari warga sekitar yang ingin memasukkan anaknya ke sekolah tersebut. Agar sekolah kondusif, terpaksa diterima orang sekitar sebagai muris, ujarnya. Kalau memang untuk memenuhi permintaan masyarakat sekitar demi kelancaran aktivitas sekolah, mengapa sampai memungut biaya jutaan rupiah. Bukankah sama saja sekolah bermaksud mengambil keuntungan dari biaya tersebut?


Selain SMA Negeri 5 Medan, sekolah lainnya yang tercium melakukan praktek yang sama yaitu, SMA Negeri 3, SMA Negeri 4 dan SMA Negeri 1. Rata-rata mereka mengenakan sejumlah biaya bagi siswa sisipan tersebut. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Ombudsman RI Perwakilan Sumut, Abyadi Siregar saat di temui wartawan di kantornya.
Mengenai adanya kelas sisipan di sekolah negeri bergengsi, semasa saya duduk di bangku akhir masa Sekolah Menengah Pertama (SMP) lima belas tahun lalu, sudah terdengar. Desas desus itu terdengar secara langsung oleh saya, saat saya berada di lokasi sebuah Sekolah Menengah Atas (SMA) di Medan, karena keperluan melihat pengumuman kelulusan tes masuk di sana. Namun permasalahan tersebut hingga kini terus ada. Hal ini membuktikan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani praktek komersialisasi pendidikan oleh pihak sekolah negeri. Sistem kapitalis sekuler yang diterapkan di Indonesia telah gagal menjamin pemerintah untuk bertanggungjawab penuh dan serius dalam memenuhi hak-hak rakyatnya. Tak seharusnya pendidikan dijadikan komoditi yang diinginkan keuntungannya.
Rekomendasi buat pemerintah, selesaikan masalah buruknya penyelenggaraan pendidikan serta masalah-masalah lainnya secara tuntas dari akar-akarnya. Akar masalahnya adalah penerapan sistem kapitalis sekuler yang menjadikan manfaat sebagai asas perbuatan. Dalam sistem ini, kebanyakan orang berbuat karena manfaat. Sehingga pihak sekolah tega mengambil manfaat dari murid-muridnya dan pemerintahpun tega menelantarkan masalah rakyatnya karena pertimbangan keuntungan. Sistem kapitalis sekuler harus diganti dengan sistem Islam dalam naungan Khilafah. Dalam sistem Islam, tolak ukur berbuat adalah halal haram, bukan manfaat. Dengan pertimbangan halal haram, pemerintahan yang menerapkan Islam akan menjaga secara penuh amanah kekuasaan yang dipegangnya. Ia akan melayani masyarakat secara adil sesuai hukum Islam dan rakyat secara keseluruhan akan merasakan kesejahteraan. Wallahu a’lam bishawab.

10 Comments:

  1. Baru tahu kalau ada kelas sisipan. Di sumedang biasanya cuma beberapa siswa, mba yg maksa masuk kemudian dipungut biya yg besar

    ReplyDelete
  2. Menyedihkan ya mba, ini sudah lama menjadi penyakit di sekolah-sekolah kita

    ReplyDelete
    Replies
    1. ia mbak btul, penyakit yg kayak mendarah daging..harus diselesaikan samapi ke akar-akarnya

      Delete
  3. Karena sama2 ingin cari untung akhirnya masalah tsb tdk pernah terselesaikan sampai saat ini ya mb

    ReplyDelete
    Replies
    1. ia mbak..bermanfaat untuk sesama itu dianjurkan..tapi kalau manfaat dijadikan tolak ukur dalam setiap perbuatan, itu yg gawat..akhirnya hilang belas kasihan

      Delete
  4. Apalagi kalo di sekolah swasta, Mbak. Beeuhhh, dikit-dikit duit, kasihan orangtuanya.

    ReplyDelete
  5. itu sih sudah biasa mak, jaman saya masih SMA saja banayk anak ayng dipungut biaya super gede kalau mau diterima di sana walau di sana sudah full kelas nya, ya alternatifnay ya itu tuh kelas sisipan

    ReplyDelete
    Replies
    1. itulah mak, yang biasa tapi salah nggak boleh terus terjadi dung ya. mau jadi apa negeri kita ini kalau terus memelihara prilaku buruk

      Delete