ilustrasi by |
Di sebuah lokasi, warga
Purwokerto, Jawa Tengah berdesakan dan berebutan menyerbu tumpukan baju bekas
yang diobral murah, hanya seribu rupiah per lembar. Baju bekas layak pakai
diburu demi bisa dipakai saat berlebaran nanti. Mereka sebenarnya bukan penyuka
baju bekas, melainkan terpaksa membelinya, karena tak mampu membeli baju baru
di toko. Tidak mengapa, karena tidak wajib berlebaran dengan pakaian baru. Yang
disunnahkan saat lebaran adalah menggunakan pakaian terbaik. Sebagaimana
sahabat Ibnu Umar yang menggunakan pakaian terbaiknya pada hari pertama dan
kedua lebaran, (HR Al-Baihaki). Rasulullah Saw sendiri memiliki jubah khusus
yang digunakan saat hari raya Idul Fitri.
Sebagian
masyarakat memang sanggup membeli baju baru untuk lebaran. Bahkan mereka sampai
berbuat boros, yang dilarang dalam Islam. Hanya saja, ramainya masyarakat yang
rela membeli baju bekas seharga seribu rupiah, menunjukkan tingkat kemiskinan
di Indonesia. Sama halnya dengan tindakan 4 orang siswa SMP di Palembang yang mencuri
bebek demi membeli baju baru. Bila sampai nekat mencuri, kemungkinan besar
karena tak memiliki pakaian bagus untuk dipakai saat lebaran. Pemahaman agama
yang kurang dan kondisi ekonomi yang sulit membuat mereka berbuat kesalahan.
Teringat dengan
pemberitaan di sebuah media pada tanggal 11 Juli 2015 tentang ucapan Presiden
Jokowi bahwa beliau sedang menjalankan reformasi struktural dalam perekonomian
nasional. Jokowi mengatakan ingin mendorong pertumbuhan ekonomi dari sektor
produktif dan investasi dari sebelumnya yang lebih mengandalkan mesin konsumsi.
Untuk mewujudkan tujuannya, Jokowi meminta agar masyarakat mau bersakit – sakit
dahulu. Bisa dipahami maksudnya bahwa rakyat disuruh hidup prihatin lebih dari
saat ini.
Sebagaimana
anggapan pemerintah, salah satu sektor konsumtif yang dianggap perlu dipangkas
yaitu subsidi BBM. Jokowi pernah berkata bahwa subsidi BBM hanya membakar uang
negara. Padahal, bukankah yang naik angkot adalah para pelajar yang produktif
menimba ilmu. Mereka yang menggunakan sepeda motor untuk bekerja juga melakukan
aktivitas produktif. Setelah subsidi BBM dicabut, imbasnya harga kebutuhan
pokok pun naik dan rakyat jadi semakin susah. Rakyat yang terpaksa membeli baju
bekas untuk lebaran seharga seribu rupiah, termasuk yang terkena imbas
kebijakan pemerintah.
Rakyat sudah hidup
prihatin pak Jokowi. Disaat pejabat menggunakan fasilitas hidup yang mewah, jalan
– jalan ke luar negeri dan membeli baju lebaran di butik, rakyat pakai baju
bekas seharga 1000 rupiah. Mungkin pakaian itu banyak kumannya. Lebih dari
sekedar masalah baju, bahkan masih banyak rakyat yang kesulitan untuk memenuhi
kebutuhan perutnya. Ada yang makan nasi aking, ada yang meminta - minta dan
masih ada anak – anak di daerah yang busung lapar. Tapi mendengar perkataan pak
Jokowi, sepertinya pemerintah tidak berhenti disitu saja. Hidup rakyat akan
dibuat lebih prihatin lagi. Tarif listrik sebentar lagi juga akan naik. Dan
apalagi yang akan dilakukan pemerintah untuk menyuruh rakyatnya hidup lebih prihatin
lagi? Kira – kira, apa yang lebih sakit dari makan nasi aking?
Dalam kita al
Manaqib Amirul Mukminin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah bercerita, suatu kali Khalifah
Umar bin Khatab dikirimi makanan oleh gubernurnya. Sebelum memakan makanan
tersebut, Khalifah bertanya pada utusan sang gubernur, “Apakah rakyat sudah
memakannya?” Ternyata tidak semua rakyat bisa memakan makanan lezat tersebut.
Khalifah Umar marah dan berkata pada gubernurnya, “Wahai Utbah, makanan semanis
dan selezat ini bukan dibuat dari ayah dan ibumu. Kenyangkan perut rakyatmu
dengan makanan ini sebelum engkau mengenyangkan perutmu dengannya.” Dalam
kesempatan lain Khalifah Umar juga pernah berkata, “ Saya adalah orang yang
pertama merasakan lapar kalau rakyatku kelaparan, dan orang terakhir yang
merasakan kenyang kalau mereka kenyang”.
Demikianlah
perbedaan pemimpin dalam pemerintahan Islam dengan pemimpin dalam sistem
demokrasi. Kalau seorang Khalifah lebih mendahulukan kepentingan rakyatnya,
namun pemimpin dalam sistem demokrasi sibuk menyuruh menyuruh rakyatnya hidup
prihatin sementara dirinya dan para pejabatnya hidup enak. Perekonomian
Indonesia terpuruk karena pemberlakukan ekonomi kapitalis demokrasi yang sarat
riba. Hutang Indonesia menumpuk, namun rakyat yang kena getahnya. Jujurlah,
kita pasti merindukan sistem pemerintahan seperti Khilafah ‘ala minhajjin
nubuwah, ya kan?
0 Comments
Post a Comment