Pernikahan massal memicu
pernikahan dini, begitu yang disampaikan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) di sebuah koran lokal Medan. Sebagaimana kita
ketahui bersama, pernikahan usia muda dianggap masalah terutama oleh
pemerintah. Alasannya, pernikahan dini dapat meningkatkan angka kematian ibu dan anak serta menjadi beban pemerintah
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Maka, Kepala BKKBN menghimbau kepada komponen masyarakat dan pemerintah
daerah untuk tidak lagi mengadakan acara nikah massal.
Pernikahan massal atau nikah
bareng sering digelar oleh berbagai pihak baik lembaga pemerintah maupun
lembaga swasta. Seperti acara nikah massal yang digelar oleh PT. Bank Sumut
bekerjasama dengan Kementerian Agama Kota Medan dan Asosiasi Pengusaha Jasa
Boga Indonesia Sumatera Utara di Lapangan Gajahmada Medan pada tanggal 6 Juni 2015 lalu, http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/06/07/npk07d-100-pasangan-di-medan-nikah-massal.
Usia pasangan bervariasi, dari yang muda hingga yang tua. Pasangan kakek nenek
berusia 80 dan 68 tahun yang mengikuti acara nikah massal di Kediri menjadi
pasangan pengantin tertua di acara tersebut, http://news.detik.com/jawatimur/2856935/wabup-kediri-hadiri-106-pasangan-nikah-massal.
Sementara pasangan berusia 16 tahun menjadi pasangan termuda di event pernikahan
massal di Istora Senayan tahun 2011 yang sempat tercatat dalam rekor dunia
sebagai acara dengan jumlah pasangan pernikahan terbanyak, yakni 4.541
pasangan, http://www.republika.co.id/berita/senggang/unik/11/07/19/lol06m-rekor-dunia-nikah-massal-di-istora-senayan.
Rata– rata peserta
nikah massal adalah pasangan suami istri
yang telah menikah secara agama, namun belum dicatatkan di Kantor Urursan Agama
(KUA). Mereka berasal dari kalangan pra sejahtera, berprofesi sebagai pemulung,
buruh cuci, pembantu rumah tangga dan berbagai profesi lainnya dengan
pendapatan pas – pasan. Tidak tercatat di KUA berarti tidak memiliki Akte Nikah.
Hal tersebut menyulitkan mereka dalam mengurus Kartu identitas diri maupun
keluarga serta akte kelahiran anak.Jadi, pernikahan massal diadakandengan
tujuan memudahkan masyarakat untuk memperoleh akte nikah agar kelak mudah
mengurus akte kelahiran bagi anak - anak mereka.
Belum ada penelitian
secara khusus tentang kaitan antara nikah massal dengan nikah dini. Informasi
yang beredar dari berbagai acara pernikahan massal justru menunjukkan bahwa
acara pernikahan massal ditujukan bagi mayoritas pasangan suami istri yang
hanya menikah secara agama dan belum memiliki akte nikah. Artinya, tidak ada
kaitan secara langsung bahwa seseorang mau menikah dini agar bisa ikut acara
nikah massal, atau peserta nikah dini mayoritas pasangan usia muda. Lalu apa
pemicu nikah dini?
Pendapat yang menyatakan
nikah dini dikhawatirkan akan mengganggu mental dan fisik remaja tidak bisa sepenuhnya
dibenarkan. Tidak semua pernikahan usia muda bermasalah. Bila dikatakan bahwa
menikah diusia belasan dapat membahayakan kesehatan ibu dan bayi, maka terbukti
dikalangan nenek kakek kita yang menikah diusia muda, melahirkan anak yang
banyak tapi sampai tua sehat – sehat saja. Nenek yang merupakan peserta tertua
pada acara nikah massal di Kediri mengatakan bahwa ia dan pasangannya menikah
secara agama diusia 17 tahun.
Terkait alasan pernikahan
dini dikatakan rawan kekerasan rumah tangga dan perceraian, maka pasangan yang
menikah diusia yang dianggap layak menikah pun tak luput dari kondisi tersebut.
Bukan usia yang menjadi standar keharmonisan hubungan suami istri, melainkan lebih
ditentukan oleh faktor kesiapan. Kesiapan yang paling menentukan adalah ilmu,
terutama ilmu agama. Orang berilmu akan paham tentang hak dan kewajiban sesuai
perannya. Lelaki berilmu akan bekerja keras untuk memenuhi nafkah keluarganya. Pasangan
yang berilmu akan sabar menghadapi segala cobaan yang dihadapi, baik masalah
ekonomi, mengenai kekurangan pasangan maupun perbedaan pandangan dengan pasangannya.
Menurut Dr. Suparyanto,
M. Kes dalam sebuah akun dan penelitian oleh mahasiswa Perguruan Tinggi
Sumatera Utara tentang faktor – faktor yang mempengaruhi pernikahan usia muda
di sebuah wilayah di Sumut, yang menjadi pemicu fenomena pernikahan dini saat
ini ialah adanya hubungan seks dan kehamilan pada remaja serta faktor – faktor
lainnya seperti faktor ekonomi dan pendidikan. http://digilib.uin-suka.ac.id/5663/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf.
Nikah diusia muda karena alasan telah berzina, dengan mental remaja lemah tak
terbina agama, inilah yang menjadi pernikahan bermasalah. Pernikahan mereka bersifat
terpaksa, tanpa persiapan ilmu dan ekonomi, maka wajar rentan terhadap
perceraian, kekerasan dalam rumah tangga dan permasalahan fisik pada perempuan
dan anaknya.
Untuk itu kesimpulan
saya, bukan nikah dini yang bermasalah, tapi faktor kesiapan pasangan yang
hendak menikah. Jangan sampai karena alasan yang dibuat – buat kita menentang
hukum agama mayoritas penduduk Indonesia. Islam tidak melarang menikah pada
usia muda. Islam berpandangan bahwa usia bukan menjadi ukuran kepantasan
seseorang untuk menikah. Menurut Islam, keluarga wajib membina anak – anaknya sejak
kecil agar matang secara mental dan memahami ilmu agama saat mereka baligh. Baligh
adalah masa dimana seseorang memasuki usia dewasa,ditandai dengan perubahan bioligis
pada tubuhnya. Biasanya anak perempuan baligh antara 10-15 tahun dan anak laki
– laki baligh usia 12-15 tahun. Islam mewajibkan negara menyediakan fasilitas
pendidikan berkualitas dan mensejahterakan perekonomian rakyatnya. Selain itu
negara juga wajib menghindarkan masyarakat terutama remaja dari berbagai konten
pornografi dan pornoaksi pendorong syahwat. Tujuannya, agar tercipta suasana
kondusif di masyarakat, dimana pernikahan terjadi hanya terjadi karena kesiapan
dan dengan tujuan beribadah, bukan karena dorongan nafsu semata atau malah menikah
karena telah terlanjur hamil sebelum menikah.
Alasan kekhawatiran yang
disebutkan Kepala BKKBN terhadap pernikahan dini selain masalah fisik dan
mental pada remaja, juga karena nikah dini membebani pemerintah dalam
meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Menikah muda berpotensi bagi pasangan
untuk memiliki keturunan yang banyak. Kelahiran yang tinggi otomatis menambah
jumlah penduduk Indonesia. Inilah yang sebenarnya lebih diyakini sebagai
kekhawatiran pemerintah. Bahwa pertambahan penduduk dianggap beban bagi negara.
Sebagaimana yang sering kita dengar, subsidi untuk rakyat membebani APBN,
persis seperti padangan ekonomi kapitalis. Untuk itu pula BKKBN hadir, yaitu
sebagai kontrol populasi dengan mencanangkan program keluarga berencana dua
anak cukup, program kesehatan reproduksi, pencegahan pernikahan dini serta
dengan berbagai program lainnya.
Bila masalahnya adalah rakyat sebagai beban
negara, maka pandangan demikian tidak layak diikuti. Pendapatan negara
mayoritas bersumber dari pajak rakyat, namun giliran memberikan pelayanan untuk
rakyat, negara merasa terbebani. Negara yang baik adalah negara yang
bertanggungjawab terhadap rakyatnya. Allah Swt menyebutkan dalam al Qur’an
bahwa Allah Swt yang memberikan kita rezeki. Sebanyak apapun anak yang
dilahirkan, maka rezekinya sudah dijamin Allah Swt. Jumlah penduduk yang seolah
jadi masalah disebabkan karena praktek ekonomi kapitalis yang menjadikan harta hanya
beredar diantara orang – orang tertentu saja. Mekanisme pengaturan hidup ideal
tidak mampu dilakukan dengan sistem kehidupan sekuler kapitalis yang dijalankan
pemerintah saat ini, melainkan dapat dilakukan oleh sistem politik Islam,
ekonomi, pendidikan dan sistem Islam lainnya. Allah Swt yang menjamin
keberkahan atas manusia yang menjalankan hukum – hukumNya secara menyeluruh.
Artinya, dalam Islam pernikahan dini bukan masalah, banyaknya jumlah penduduk
justru menyenangkan Rasululah Swt, dan kesejahteraan rakyat mampu tercapai. Ayo
dukung penegakan Syariah dan Khilafah. Wallahu a’lam bishawab.
Tulisan ini dimuat di Harian Waspada Medan tanggal 04 Juli 2015
0 Comments
Post a Comment