Ternyata
teroris itu orang-orang botak, begitu penggalan kalimat di media sosial yang
menggambarkan Biksu Ashin Wiirathu dan pengikutnya. Biksu yang memang botak
plontos ini, digambarkan oleh Majalah Time sebagai wajah teror Budha dari
Burma.
Biksu Budha ini dan para pengikutnya telah menunjukkan ajaran welas asih Budha di Burma (Myanmar). Dengan jubah agamanya, dia menyebarkan kebencian kepada Muslim Rohingya hingga menjadi pemicu pembantaian dan pengungsian ribuan manusia.
Biksu Budha ini dan para pengikutnya telah menunjukkan ajaran welas asih Budha di Burma (Myanmar). Dengan jubah agamanya, dia menyebarkan kebencian kepada Muslim Rohingya hingga menjadi pemicu pembantaian dan pengungsian ribuan manusia.
Dalam sebuah
video yang menyebar di Youtube, si Biksu Budha ceramah di depan para
pengikutnya. Dia menjelaskan kebenciannya kepada umat Muslim: karena punya
solidaritas di antara sesama Muslim. Selain itu karena dia khawatiran Burma
menjadi seperti Indonesia dengan populasi Muslim terbesar. (Saya tidak bisa
bayangkan apa yang terjadi jika alasan yang sama digunakan di setiap negara
dengan umat Budha minoritas).
Maka teror
pun berlangsung secara "telanjang". Dia menjalankan ajaran kebaikan
dengan melarang orang Budha belanja di toko Muslim, yang membuat Burma menjadi
negara diskriminatif dan teror terbuka bagi Muslim. Untuk ini dia kemudian di
penjara selama 25 tahun. Ketika rezim Burma berganti, kepemimpinan Presiden
Thein Sein membebaskannya di tahun 2012 lalu--dari seharusnya 2028.
Tidak perlu
lama, keluar penjara dia langsung menyebarkan ajaran kelembutan agamanya dengan
melakukan teror terhadap umat Islam. April 2013, di kota Meiktila, 20 anak laki
Muslim diambil dari madrasah dan dibunuh. Mayat-mayat mereka disiram bensin dan
dibakar.
Ribuan
lainnya ketakutan luar biasa. Mereka umumnya kelompok tak berdaya, perempuan
dan anak-anak. Teror dari ajaran agama yang ditebar Biksu Budha telah
menimbulkan ketakutan yang sangat--memaksa mereka berlayar berbulan-bulan
dengan kapal nelayan yang sangat sederhana. Mereka menempuh maut untuk mencari
hidup.
Oleh : Dedi
Syahputra (Penggalan Foliopini, 25/05/2015)
Film Muhammad
Al Fatih produksi barat menggambarkan, sang panglima memasuki negeri taklukan
Konstantinopel tanpa menumpahkan darah warga sipil seorang pun. Ia berdiri
dihadapan rakyat Konstantinopel yang sedang ketakutan menanti aksi kaum muslim.
Lalu ia menyampaikan ucapan yang melegakan, bahwa takkan ada yang disakiti.
Islam itu adil, anti diskriminatif. Hak dan kewajiban mereka berkaitan dengan
aturan kemasyarakatan sama dengan warga negara lainnya dari kalangan kaum
muslim. Hingga detik ini tak pernah tercatat dalam sejarah kaum muslim
membantai warga sipil non muslim. Bukti lainnya, bahwa banyak bangunan gereja
yang masih berdiri dibekas negara Khilafah, yaitu Turki.
Di Indonesia
saat ini, kaum muslim mayoritas. Meski mengetahui saudaranya dibantai
habis-habisan oleh para Biksu Budha di Myanmar, tak lantas kami ramai –
ramai mengucilkan atau mengganggu kehidupan umat Budha seperti orang Eropa
berlaku jahat kepada kaum muslim Eropa saat marak isu ISIS.
Lanjut pak
Dedi,
Bahwa
hubungan antar masyarakat di dunia ini adalah hubungan yang tak setara, tak
selalu universal, tak memihak pada keadilan. Inilah rahasia di balik
diamnya orang Inggris, Amerika dan sekutunya melihat pembantaian manusia
Myanmar di depan mata. Mereka tidak galak seperti ketika terjadi diskriminasi
agama dan ras di negara Timur Tengah, atau Indonesia. Mereka gak bakalan mau
mensponsori terbentuknya Densus 969 di Burma, atau mendanai aktivis HAM di
sana. Maka terjawablah mengapa aktivis HAM di negeri ini juga seolah
"tiarap".
***
Di mana peran media? Ini menjadi bagian yang menariknya. Media menjadi pihak yang meneruskan, membelokkan, mengecilkan, dan membesarkan peristiwa-peristiwa penting ini. Dan setelah meneliti berita-berita tentang perang seperti di Irak, Afghanistan, dan Kosovo, David Edwards, dan David Cromwell kemudian menyimpulkan kebebasan media cuma mitos. Kesimpulan yang kemudian menjadi judul buku mereka Guardians Of Power; The Myth Of The Liberal Media. Buku yang oleh Jhon Pilgerdinyatakan sebagai buku paling penting yang diingatnya.
Di mana peran media? Ini menjadi bagian yang menariknya. Media menjadi pihak yang meneruskan, membelokkan, mengecilkan, dan membesarkan peristiwa-peristiwa penting ini. Dan setelah meneliti berita-berita tentang perang seperti di Irak, Afghanistan, dan Kosovo, David Edwards, dan David Cromwell kemudian menyimpulkan kebebasan media cuma mitos. Kesimpulan yang kemudian menjadi judul buku mereka Guardians Of Power; The Myth Of The Liberal Media. Buku yang oleh Jhon Pilgerdinyatakan sebagai buku paling penting yang diingatnya.
Polarisasi
selalu terjadi pada tiga segitiga yang saling bertalian; Pemerintah, kelompok
kepentingan, dan media. Jika pemerintah adalah Barat dan aliansinya, maka
kelompok kepentingan bisa kelompok agama (biasanya Yahudi, dan Budha adalah
contoh terbaru di Burma). Sedangkan media dimaksud adalah media mainstream yang
menjadi pengisi kepala banyak manusia di dunia ini.
Demikianlah
dinamika kehidupan dunia ini berlangsung. Kalau yang berjenggot dan bercelana
cangkring adalah wujud teroris yang sengaja ditempelkan, maka di Burma, yang
botak dan berjubah oranye adalah teroris yang dilestarikan.
0 Comments
Post a Comment