Pasca UN, kini pelajar bukan lagi sekedar
pesta coret – coret baju sekolah, bagian tubuh dan rambutnya serta konvoi
kendaraan. Luar biasa ekspresif, mereka merayakan lepasnya beban ujian dengan
zina massal, telanjang di tengah jalan, tawuran dan sejumlah perbuatan maksiat
lainnya.
Seperti diceritakan dalam situs bonsaibiker.com, Kompas.com dan
Detiknews.com tanggal 17 April 2015, di Pematangsiantar remaja pria tak segan
pegang bagian tubuh remaja perempuan ketika saat membubuhkan tanda tangan pada
acara coret - coretan, di Purwakarta selesai UN siswa langsung tawuran, di
Kendal, Jawa Tengah puluhan pelajar tertangkap sedang asyik berbuat mesum di
kamar hotel.
Generasi liberal terus berkembang,
mencoreng dunia pendidikan. Mereka menjalani hidup seperti air mengalir, tanpa
tujuan, tanpa prinsip yang mengarahkan setiap langkah kehidupan. Mereka tidak
ingat kalau mereka adalah makhluk ciptaan Allah Swt yang dimuliakan dengan
akal.
Mereka merasa tak ada campur tangan Allah Swt dalam mengatur hidup mereka.
Mereka tidak menyadari adanya hari penghisaban. Mereka menyangka akan hidup
selamanya. Sehingga, mereka mengikuti saja kebiasaan buruk yang sudah terlanjur
beredar di tengah – tengah mereka.
Bagi pemuda zaman sekarang, pacaran adalah
hal biasa, pergaulan bebas adalah gaya hidup yang keren. Kekerasan dalam bentuk
tawuran menjadi ciri khas dari pelajar. Inilah buruk remaja yang tidak kenal
jati dirinya. Siapa yang bertanggungjawab?
Kerusakan remaja tak lepas dari penerapan
sistem demokrasi yang menyuburkan liberalisasi budaya. Atas nama kebebasan
berekspresi, budaya asing tanpa aturan agama dibiarkan. Akhirnya, remaja
belajar pergaulan bebas dan kekerasan dari televisi, internet dan media
lainnya.
Ditambah lagi benteng diri remaja memang rapuh, berkaitan dengan jati
diri mereka. Keluarga kurang menanamkan keimanan pada diri remaja, sehingga
tidak merasa diawasi Allah Swt dalam setiap prilaku mereka. Remaja pun merasa
tak perlu terikat dengan aturan Allah Swt.
Sistem demokrasi bertanggungjawab atas
dunia pendidikan yang tidak berbobot. Meski diklaim dua kurikulum yang
diterapkan saat ini mengupayakan perbaikan karakter dan akhlak pada diri
remaja, nyatanya tetap saja mengutamakan nilai akademik sebagai standar
keberhasilan.
Perubahan kurikulum tidak disertai dengan perubahan asas
kurikulum pendidikan itu sendiri yaitu sekulerisme. Bila asas dari sistem
pendidikan adalah pemisahan agama dari kehidupan, wajar peran agama
terpinggirkan sebagai aturan hidup. Porsi agama minim diajarkan di sekolah.
Akhirnya, remaja tidak kenal jati dirinya sebagai makhluk Allah Swt, tidak tahu
bahwa tujuan hidupnya adalah semata beribadah kepada Allah Swt dan setiap
perbuatannya akan dipertanggungjawabkan dihadapn Allah di akhirta kelak. Sistem
pendidikan telah gagal melahirkan output yang bermoral dan berkepribadian Islam.
Bila prinsip Islam yang jadi kendali
internal bagi remaja tidak tertanam dan pengaruh budaya asing yang rusak tidak
dicegah, maka akan terus terlahir para remaja generasi liberal. Sudah
semestinya sistem demokrasi yang rusak dan merusak diganti dengan sistem Islam,
agar terlahir generasi beriman dan bertakwa serta cerdas menyikapi berbagai
persoalan kehidupan. Wallahu a’lam bishawab.
0 Comments
Post a Comment