Monday, April 20, 2015

Ibu Mertuaku Yang Tegar


Saya ketemu ibu mertua sebulan sekali. Sebab, saya dan suami tinggal di Medan, ibu tinggal di Desa Firdaus, Sei Rampah. Kira-kira jarak tempat tinggal kami sekitar 2 jam perjalanan dengan sepeda motor. Didera kerinduan, setiap pulang kampung, ibu menyambut kedatangan saya dan suami dengan peluk cium. Ya, hanya saya dan suami. Sebab kami belum punya momongan. Saya ingat sekali ucapan ibu kalau saya baru tiba di rumah. Ibu bilang, “sayang ibu nak”, lalu saya cium pipi ibu. Setelah itu ibu segera suruh kami makan dan istirahat. Kemudian kami ngobrol-ngobrol bareng abang dan kakak ipar. Begitulah kira-kira suasana di rumah ibu mertua pada hari minggu, terutama saat saya dan suami pulang kampung. Anak-anak dan cucu-cucu ibu selalu berusaha ngumpul untuk meramaikan rumah ibu.
            Ibu senang mengajak saya ngobrol, senang bernostalgia tentang masa lalu. Kadang bercerita tentang masa kecil suami saya. Ibu bilang suami saya dari dulu anak yang baik, rajin belajar dan anak rumahan. Ibu juga bercerita bagaimana suka duka membesarkan anak yang berjumlah 6 orang sendirian. Sejak anak bungsu yaitu suami saya, berusia 4 tahun, bapak meninggal dunia. Meski perhatian dari keluarga dan tetangga tetap ada, namun tetap saja sebagian besar beban kehidupan keluarga, ibu yang menanggung. Bekal pensiun bapak sebagai pegawai negeri yang hanya 64 ribu per bulan tidak cukup buat makan dan sekolah anak-anak. Anak paling besar masih SMP. Jadi, ibu terpaksa harus bekerja. Ibu jualan kangkung, genjer dan daun singkong. Tanaman tersebut yang bisa dijual, karena modal mendapatkannya murah. Suami saya kadang ikut menemani ibu berjualan. Ibu memang sosok yang tegar. Ibu adalah pejuang, sebagaimana R.A. Kartini. Bedanya, ibu Kartini berjuang agar perempuan mudah mendapat hak pendidikan dan leluasa menjalankan perannya tanpa kungkungan adat, kalau ibu berjuang untuk masa depan anak-anaknya.
        Mengalami kesusahaan hidup, ibu jadi perhatian terhadap permasalahan umat. Kadang kami ngobrol tentang pemerintahan. Ibu suka heran kenapa tiap ganti presiden, kehidupan semakin susah. Harga BBM naik, gas di kampung juga langka, beras mahal dan harga kebutuhan lainnya pada naik. Saya yang memang memperhatikan masalah yang sama menjawab, “Ia buk, ini karena negara kita nggak diatur dengan aturan Allah Swt.”
Begitulah yang saya pahami. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Al Qur’an surat Al A’raf ayat 96, “Sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertaqwa, Allah akan melimpahkan berkah dari langit dan dari bumi. Tetapi mereka mendustakan ayat-ayat Kami. Maka Kami adzab mereka, dengan adzab yang pedih”. Rasulullah pernah bersabda : “Bila di suatu negeri zina dan riba dibiarkan, maka mereka telah menghalalkan adzab Allah Swt atas mereka.” Kita bisa saksikan ada pasar keuangan yang sarat riba, negara berhutang dengan riba, pergaulan remaja mengerikan dan sejumlah masalah lainnya. Jadi wajar, bukan sekedar kesusahan ekonomi, ketentraman hidup kita pun terusik karena kehidupan berbangsa dan bernegara kita tidak diatur dengan aturan Allah Swt.
“Jadi siapa yang bagus jadi presiden va? Tanya ibu.
“Siapa aja bu, asal mau merubah sistem bernegara sekarang menjadi sistem Islam pasti bagus jadi pemimpin.” Saya bilang begitu.
“Jadi ibu nggak usah nyoblos?”
“Ya kalo ada yang berjanji mau jalankan hukum-hukum Allah, itulah yang kita pilih bu”.
Saya dan suami kan guru, meski bukan guru sekolah, tetapi guru les. Ibu juga tahu kalau saya dan suami, juga kakak ipar belajar Islam di Hizbut Tahrir yang konsisten memperjuangkan kembalinya kehidupan Islam. Jadi, ibu cukup mempercayai pendapat-pendapat saya dalam menanggapi masalah kemasyarakatan. Itulah mengapa ibu tanya tentang pemerintahan sama saya.
Saat ini, ibu sedang sakit asam urat, susah kalau mau jalan-jalan ke rumah anak-anak beliau. Diusia senjanya, ibu berharap anak-anak, menantu dan cucu-cucu mendoakan kesehatan ibu. Semoga ibu sehat selalu, amin :) 

0 Comments

Post a Comment