Saya ketemu ibu mertua sebulan sekali.
Sebab, saya dan suami tinggal di Medan, ibu tinggal di Desa Firdaus, Sei
Rampah. Kira-kira jarak tempat tinggal kami sekitar 2 jam perjalanan dengan
sepeda motor. Didera kerinduan, setiap pulang kampung, ibu menyambut kedatangan
saya dan suami dengan peluk cium. Ya, hanya saya dan suami. Sebab kami belum
punya momongan. Saya ingat sekali ucapan ibu kalau saya baru tiba di rumah. Ibu
bilang, “sayang ibu nak”, lalu saya cium pipi ibu. Setelah itu ibu segera suruh
kami makan dan istirahat. Kemudian kami ngobrol-ngobrol bareng abang dan kakak
ipar. Begitulah kira-kira suasana di rumah ibu mertua pada hari minggu,
terutama saat saya dan suami pulang kampung. Anak-anak dan cucu-cucu ibu selalu
berusaha ngumpul untuk meramaikan rumah ibu.
Ibu
senang mengajak saya ngobrol, senang bernostalgia tentang masa lalu. Kadang
bercerita tentang masa kecil suami saya. Ibu bilang suami saya dari dulu anak
yang baik, rajin belajar dan anak rumahan. Ibu juga bercerita bagaimana suka
duka membesarkan anak yang berjumlah 6 orang sendirian. Sejak anak bungsu yaitu
suami saya, berusia 4 tahun, bapak meninggal dunia. Meski perhatian dari
keluarga dan tetangga tetap ada, namun tetap saja sebagian besar beban
kehidupan keluarga, ibu yang menanggung. Bekal pensiun bapak sebagai pegawai
negeri yang hanya 64 ribu per bulan tidak cukup buat makan dan sekolah
anak-anak. Anak paling besar masih SMP. Jadi, ibu terpaksa harus bekerja. Ibu
jualan kangkung, genjer dan daun singkong. Tanaman tersebut yang bisa dijual,
karena modal mendapatkannya murah. Suami saya kadang ikut menemani ibu
berjualan. Ibu memang sosok yang tegar. Ibu adalah pejuang, sebagaimana R.A.
Kartini. Bedanya, ibu Kartini berjuang agar perempuan mudah mendapat hak
pendidikan dan leluasa menjalankan perannya tanpa kungkungan adat, kalau ibu
berjuang untuk masa depan anak-anaknya.
Mengalami
kesusahaan hidup, ibu jadi perhatian terhadap permasalahan umat. Kadang kami
ngobrol tentang pemerintahan. Ibu suka heran kenapa tiap ganti presiden,
kehidupan semakin susah. Harga BBM naik, gas di kampung juga langka, beras
mahal dan harga kebutuhan lainnya pada naik. Saya yang memang memperhatikan
masalah yang sama menjawab, “Ia buk, ini karena negara kita nggak diatur dengan
aturan Allah Swt.”
Begitulah yang saya pahami.
Sebagaimana firman Allah Swt dalam Al Qur’an surat Al A’raf ayat 96, “Sekiranya
penduduk suatu negeri beriman dan bertaqwa, Allah akan melimpahkan berkah dari
langit dan dari bumi. Tetapi mereka mendustakan ayat-ayat Kami. Maka Kami adzab
mereka, dengan adzab yang pedih”. Rasulullah pernah bersabda : “Bila di suatu
negeri zina dan riba dibiarkan, maka mereka telah menghalalkan adzab Allah Swt
atas mereka.” Kita bisa saksikan ada pasar keuangan yang sarat riba, negara
berhutang dengan riba, pergaulan remaja mengerikan dan sejumlah masalah lainnya.
Jadi wajar, bukan sekedar kesusahan ekonomi, ketentraman hidup kita pun terusik
karena kehidupan berbangsa dan bernegara kita tidak diatur dengan aturan Allah
Swt.
“Jadi siapa yang bagus jadi presiden va?
Tanya ibu.
“Siapa aja bu, asal mau merubah sistem bernegara
sekarang menjadi sistem Islam pasti bagus jadi pemimpin.” Saya bilang begitu.
“Jadi ibu nggak usah nyoblos?”
“Ya kalo ada yang berjanji mau jalankan
hukum-hukum Allah, itulah yang kita pilih bu”.
Saya dan suami kan guru, meski bukan guru
sekolah, tetapi guru les. Ibu juga tahu kalau saya dan suami, juga kakak ipar
belajar Islam di Hizbut Tahrir yang konsisten memperjuangkan kembalinya
kehidupan Islam. Jadi, ibu cukup mempercayai pendapat-pendapat saya dalam
menanggapi masalah kemasyarakatan. Itulah mengapa ibu tanya tentang
pemerintahan sama saya.
Saat ini, ibu sedang sakit asam urat,
susah kalau mau jalan-jalan ke rumah anak-anak beliau. Diusia senjanya, ibu
berharap anak-anak, menantu dan cucu-cucu mendoakan kesehatan ibu. Semoga ibu
sehat selalu, amin :)
0 Comments
Post a Comment