Saya
suka dodol. Keluarga saya suka dodol. Kalau pulang kampung biasanya oleh-oleh
yang dibawa adalah dodol. Tapi pulang kampung baru-baru ini, saya kecewa. Dodol
fovorit saya tidak selezat biasanya. Kalau sebelumnya begitu lemak, menandakan
santan yang digunakan cukup. Namun kini tidak terasa lagi lemaknya santan pada
dodol itu. Kalau sebelumnya gula merah yang digunakan berjenis gula aren. Kini
gula yang digunakan sepertinya gula merah kelas rendah. Kalau kata seorang
kenalan saya yang pernah menyaksikan bagaimana pengolahan gula merah bukan
aren, gula merah tersebut berbahan gula-gula kotor sisa dari pengolahan tebu
mejadi gula putih. Rasanya memang tidak semanis biasanya. Ya, saya kecewa.
Kalau difikirkan, kenapa ya harga dodol favorit saya tidak naik? Padahal
rata-rata barang harganya naik terkena imbas kenaikan harga BBM.
Nah,
saya teringat kata-kata pakar bisnis. Para pedagang punya dua pilihan dalam
menghadapi dampak kenaikan harga BBM. Pertama, dengan naiknya harga bahan-bahan
baku maka harga jual bisa dinaikkan. Karena kalau tidak dinaikkan harganya,
bisa tekor. Resikonya, ketika harga dinaikkan bisa saja tingkat penjualan dodol
akan menurun. Apalagi dodol memang bukan kategori kebutuhan pokok bagi
masyarakat. Tidak makan dodol tidak jadi masalah. Maka untuk menghindari resiko
seperti itu, masih ada satu pilihan lagi. Yaitu, kurangi kualitas barang. Maka
bahan baku yang digunakan harus diganti dengan bahan-bahan yang lebih murah
harganya. Jadi tidak perlu menaikkan harga. Mungkin ini yang dilakukan oleh
pedagang dodol favorit saya. Dodol itu tidak lagi lemak karena kurang
santannya. Dodol itu tak lagi semanis biasa karena tidak pakai gula aren asli.
“Dodol itu lebih mirip rasanya dengan kue bakul khas cina yang sering dimakan
saat imlek”. Itu kata keluarga saya. Kasihan ya. Dodol pun terkena imbas
kenaikan harga BBM...
0 Comments
Post a Comment